Selasa, 03 Oktober 2017

DANA TERHADAP KINERJA (skripsi dan tesis)

Pengertian kinerja adalah suatu usaha formal yang dilaksanakan perusahaan untuk mengevaluasi efisiensi dan efektivitas dari aktivitas perusahaan yang telahdilaksanakan pada periode waktu tertentu (Hanafi,2003).
Menurut Mulyadi dalam Sucipto (2003) pengertian kinerja keuangan adalah penentuan ukuran-ukuran tertentu yang dapat mengukur keberhasilan suatu organisasi atau perusahaan dalam menghasilkan laba. Menurut  IAI (2012) kinerja keuangan adalah kapasitas perusahaan dalam menghasilkan arus kas dari sumber daya yang ada.
Sehingga dapat diartikan bahwa kinerja keuangan ialah usaha formal yang dilakukan oleh perusahaan untuk  mengevaluasi efisiensidan efektivitas dari aktivitas perusahaan guna mengukur keberhasilan perusahaan dalam menghasilkan laba, sehingga dapat melihat prospek, pertumbuhan, dan potensi perkembangan perusahaan dengan mengandalkan sumber daya yang ada.
Perbankan sebagai salah satu pilar terpenting sektor keuangan Indonesia mampu menorehkan kinerja cemerlang di tengah tekanan inflasi dan suku bunga, serta ketidakpastian global. Mencermati kinerja keuangan kuartal III-2013 yang baru saja dipublikasikan oleh bank-bank-bank papan atas, terlihat betapa sektor perbankan memiliki fundamental yang cukup kuat. Hal itu tercermin pada berbagai indikator yang ada.
Laba bersih bank-bank papan atas masih mampu tumbuh dua digit pada kuartal III-2013 dibanding periode sama tahun lalu, kredit, dana pihak ketiga (DPK) meningkat antara 20-30%, dan aset yang tumbuh kencang. Bank Mandiri sebagai satu-satunya bank yang masuk 10 besar Asean, asetnya menembus Rp 700 triliun. (http://www.investor.co.id/)
Bank-bank besar juga masih menikmati margin bunga bersih (net interest margin/NIM) di atas 5%, bahkan ada yang 8-9%. Yang menggembirakan, kredit bermasalah (non performing loan/NPL) net masih terjaga rendah di tengah kenaikan suku bunga. Rata-rata di bawah 1%.
Berdasarkan laporan Bank Indonesia, rata-rata tingkat kecukupan modal (CAR) perbankan nasional cukup tinggi, mencapai 17,89% per Agustus 2013. Permodalan yang tinggi mengindikasikan bahwa bank-bank di Indonesia umumnya dalam kondisi solvent serta memiliki kemampuan memadai untuk memitigasi risiko-risiko yang dihadapi. (http://www.investor.co.id/)
Hasil uji ketahanan (stress test) yang beberapa kali dilakukan BI, baik dari sisi permodalan, likuiditas, maupun kredit menunjukkan ketahanan industri perbankan yang kuat terhadap berbagai risiko, seperti perlambatan ekonomi, kenaikan suku bunga, dan depresiasi nilai tukar rupiah.
Berbagai indikator tersebut merefleksikan bahwa perbankan di Indonesia sangat menggiurkan dengan profitabilitas yang lebih baik dibanding perbankan di negara Asean lainnya. Rata-rata ROE, ROA, dan NIM perbankan Indonesia unggul di Asean. Dengan performa itu, kinerja harga saham-saham perbankan diyakini tetap akan cemerlang, terutama bank-bank papan atas.
Gilbert (Syofyan, 2003) menyatakan ukuran kinerja perbankan yang paling tepat adalah dengan mengukur kemampaun perbankan dalam menghasilkan laba atau profit dari berbagai kegiatan yang dilakukannya, sebagaimana umumnya tujuan suatu perusahaan didirikan adalah untuk mencapai nilai (value) yang tinggi, dimana untuk mencapai value tersebut perusahaan harus dapat secara efisien dan efektif dalam mengelola berbagai macam kegiatannya. Salah satu ukuran untuk mengetahui seberapa jauh keefisienan dan keefektifan yang dicapai adalah dengan melihat profitabilitas perusahaan, semakin tinggi profitabilitas maka semakin efektif dan efisien juga pengelolaan kegiatan perusahaan.
Ukuran profitabilitas bank dapat dilihat dari berbagai macam rasio, seperti Return on Assets (ROA), Return on Equity (ROE), Net Profit Margin (NPM) , dan Rasio Biaya Operasional (Dendawijaya, 2003:120). Lebih khusus menurut Gilbert (Syofyan, 2003) ukuran profitabilitas yang tepat dalam menilai kinerja industri perbankan adalah ROA.
Penelitian Sudiyatno (2010) menunjukkan bahwa Berdasarkan uji t untuk variabel DPK diperoleh signifikasi 0,008. Sedangkan nilai signifikansi t (sig-t) sebesar  0,008, lebih kecil atau kurang dari 0,05, sehingga dapat disimpulkan hipotesis 1 (Hı)  diterima, artinya ada pengaruh positif dan signifikan antara DPK terhadap ROA. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Yuliani (2007) yang memperoleh kesimpulan dari penelitiannya, bahwa pengaruh yang terjadi antara DPK terhadap ROA adalah positif  dan  tidak signifikan.
Dana pihak ketiga yang diproksi dengan penjumlahan antara  giro,tabungan dan deposito (DPK) mempunyai pengaruh positif dan singnifikan terhadap kinerja keuangan yang diproksi dengan ROA. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin besar jumlah dana pihak ketiga (DPK), semakin tinggi ROA. Kondisi ini akan menguatkan persepsi masyarakat untuk menyimpan dananya di bank, dan secara teoritis masyarakat mempercayai kinerja bank, karena masyarakat menyerahkan uangnya untuk dikelola oleh bank.
Penelitian Sukarno dan Syaichu (2006) menunjukkan bahwa hasil estimasi regresi variable LDR diperoleh nilai t sebesar 3,602 yang menunjukkan hubungan positif antara LDR (rasio kredit dan DPK) dengan ROA. Nilai sig. variabel LDR sebesar 0,000 < 0,05. Nilai sig. uji t yang lebih kecil dari 0,05, menunjukkan adanya hubungan signifikan antara LDR dengan ROA, sehingga hipotesis kedua (H2) diterima. Bank yang tidak memiliki masalah kekurangan likuiditas akan memberikan dampak positif terhadap kepercayaan masyarakat, sehingga kesempatan bank untuk meningkatkan keuntungan akan terbuka lebar. Dana yang terkumpul dari pihak ketiga akan mengalami peningkatan, sehingga besarnya dana yang dapat disalurkan sebagai kredit akan dapat meningkat dan otomatis pendapatan bank dari bunga pinjaman akan meningkat.
Manajemen bank sebaiknya berani mengambil berbagai kebijakan guna mencapai tingkat LDR yang kompetitif, artinya tidak terlalu tinggi yang hanya akan mendatangkan masalah kesulitan likuiditas (maksimal 110 persen) dan tidak terlalu rendah yang hanya akan mendatangkan masalah besarnya dana yang idle di bank. Bank yang memiliki tingkat likuiditas kompetitif akan mampu meningkatkan profitnya, hal ini berarti bank telah mampu mengurangi dana idle yang hanya akan meningkatkan biaya. Mengurangi dana yang idle dapat dilakukan dengan meningkatkan jumlah kredit, investasi pada sektor yang menguntungkan (pasar modal dan pasar uang). Semakin tinggi LDR akan berdampak pada peningkatan ROA. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Sulistiyono (2005)
Hasil yang sama dikemukakan dari penelitian Setyorini (2012) yaitu bahwa besarnya pengaruh Loan to Deposit Ratio (LDR) terhadap Return on Equity (ROE) sebagai proxy kinerja keuangan Bank sebesar 21,6% (korelasi parsial). Ada-pun koefisien regresi variabel Loan to Depo-sit Ratio (LDR) menunjukkan nilai positif sebesar 1,651%, yang mempunyai arti bahwa pengaruh terhadap Return on Equity (ROE) pada industri perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia adalah searah. Secara statistik hal ini diinterprestasikan sebagai ke-naikan 1% Loan to Deposit Ratio (LDR) akan menyebabkan peningkatan Return on Equity (ROE) sebesar 1,651% dengan asumsi variabel independen lain konstan. Semakin tinggi Loan to Deposit Ratio (LDR) maka memberikan indikasi semakin tinggi pula ke-mampuan bank dalam memperoleh laba.
Sementara hasil analisis terhadap pengaruh Loan to Deposit Ratio (LDR) Bank Konvensional menunjukkan bahwa brdasarkan Uji t didapatkan koefisien pengaruh variabel LDR terhadap ROA adalah -0,024 dengan tingkat signifikansi (sig) = 0,000 < 0.05. Ini ditunjukan bahwa variabel LDR berpengaruh negatif terhadap ROA. Jadi, LDR berpengaruh negatif dan signifikan terhadap ROA pada bank konvensional. Pihak bank harus menilai calon debitur yang mempunyai karakter kuat, kemampuan mengembalikan uang, jaminan yang berharga, modal yang kuat, dan kondisi perekonomian yang aman bagaikan melihat sebuah mutiara. Bersarnya nilai LDR menunjukkan bahwa jumlah kredit yang disalurkan lebih besar dari dana pihak ketiga. Perbankan diharapkan menjaga besaran variabel LDR antara 80% - 110% sesuai dengan standar yang digunakan oleh Bank Indonesia..
Menurut Andriansyah (2009), Secara umum perkembangan kinerja keuangan perbankan syariah di Indonesia dapat diringkas pada Tabel berikut. Data-data yang ada menunjukkan bahwa perbankan syariah mampu terus bertumbuh baik dalam sisi aset, perolehan laba maupun pengumpulan dana pihak ketiga. Sepanjang 2002 hingga September 2009, aset perbankan syariah tumbuh dari Rp4.045 Miliyar menjadi Rp58.034 Miliyar. Jumlah ini menunjukkan pertumbuhan positif setiap tahunnya yang bahkan mencapai 90% lebih pada 2003 dan 2004. Sedangkan untuk tahun selanjutnya pertumbuhan berkisar di antara 17% hingga 36% per tahun.
Tabel Perkembangan Aset, Laba Tahun Berjalan, dan DPK Perbankan Syariah 2002-2009 dalam Miliyar Rupiah

Indikator 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Aset4.0457.85915.32620.88026.72236.53849.55558.034
Pertumbuhan (%)94,2895,0136,2427,9836,7335,6317,11
Laba Tahun Berjalan5443162298414628605558
Pertumbuhan (%)-21,07280,5883,5438,9351,69-3,66-7,77
DPK2.9185.72511.86215.58420.67228.01236.85245.381
Pertumbuhan (%)96,21107,2031,3832,6535,5131,5623,14

Perkembangan dana pihak ketiga di perbankan syariah juga menunjukkan peningkatan pada data yang ada. Dari sejumlah Rp2.918 Miliyar pada 2002, dana pihak ketiga naik menjadi Rp45.381 Miliyar pada September 2009. Setiap tahunnya, pertumbuhannya senantiasa positif bahkan mencapai 96,21% dan 107,20% pada 2003 dan 2004. Tingginya pertumbuhan pada dua tahun ini,patut diduga merupakan buah dari Fatwa MUI tentang pengharaman bunga bank pada Desember 2003. Fatwa ini memang diharapkan pada saat tersebut mampu mendongkrak akselerasi perbankan syariah di Indonesia dan terbukti dampaknya pun dirasakan perbankan konvensional.

Secara grafis hubungan antara penghimunan Dana Pihak Ketiga dalam bentuk fungsi Ln memiliki trend pertumbuhan yang meningkat sebagaimana bentuk fungsi Ln Laba, Hal ini menandakan bahwa peningkatan DPK secara realaitf diikuti oleh peningkatan profitabilitas Bank juga.
Menurut Utami (2008) kemampuan bank dalam mengelola modal (biasanya dihubungkan dengan investasi dan tingkat risiko yang rendah) saat ini akan berpengaruh positif terhadap keuntungan yang diperoleh bank. Karena pada tiga bulan lalu bank menginvestasikan modalnya pada tingkat risiko yang rendah, maka keuntungan yang didapat saat ini akan kecil. Semakin tinggi risiko yang diambil bank pada tiga bulan lalu, semakin besar keuntungan yang didapat saat ini.
 Pengujian dengan variabel return on equity sebagai variabel dependen menunjukkan bahwa tingkat efi siensi bank dalam menggunakan modal dipengaruhi oleh besarnya aset yang dikelola bank. Semakin besr aset yang dikelola, maka akan semakin rendah tingkat efi siensi bank tersebut. Karena besarnya aset yang dikelola tidak diimbangi dengan kemampuan bank dalam melakukan diversifikasi, sehingga efisiensi bank menjadi semakin rendah.
Efektivitas dana pihak ketiga (EDPK) merupakan cerminan dari fungsi intermediasi bank, yaitu dalam menyalurkan dana pihak ketiga ke pembiayaan. EDPK dapat diukur dengan Financing to Deposit Ratio(FDR).Semakin tinggi rasio ini (menurut Bank Indonesia 85%-100%), semakin baik tingkat kesehatan bank, karena pembiayaan yang disalurkan bank lancar, sehingga pendapatan bank semakin meningkat.
Mempertahankan likuiditas yang tinggi akan memperlancar customer relationship tetapi tingkat bagi hasil akan menurun karena banyaknya dana yang menganggur. Dilain pihak likuiditas yang rendah menggambarkan kurang baiknya posisi likuiditas suatu bank.  (Mulyo dan Mutmainah, 2010)
 Karena itu apabila EDPK yang diukur dengan rasio FDR semakin tinggi, maka bagi hasil akan semakin tinggi juga.Hal tersebut bila dikaitkan dengan teori stakeholder, maka bank syariah akan mengurangi tingkat PDMyang mengacu pada suku bunga. Berkurangnya tingkat PDM dikarenakan bank telah mampu memanage deposannya dengan tingkat PD yang sudah tinggi

Tidak ada komentar: