Jumat, 16 Desember 2016

Gambaran Upaya Pemerintah Perancis Dalam Memberantas Gerakan ETA (Euskadi Ta Askatasuna)


Semenjak berdirinya pada tahun 1959 kelompok ETA tidak pernah melakukan aksi-aksi kekerasannya didaratan Perancis. Mereka hanya menjadikan wilayah Basque di Perancis sebagai tempat pelarian dari buruan otoritas keaman Spanyol selain itu mereka juga menjadikan wilayah tersebut sebagai markas sebelum melakukan aksi-aksi kekerasan di Spanyol.
Dalam kurun waktu 1959 sampai menjelang akhir tahun 1980, kelompok ETA tidak sekalipun melakukan aksi kekerasan mereka di wilayah Basque yang terletak di Perancis. Namun hal ini kemudian mengalami perubahan setelah memasuki tahun 1990 -an. Pada 1990 polisi menggunakan gas air mata untuk membubarkan kerumunan 1500 nasionalis Basque setelah membakar bendera Perancis dan Spanyol dalam perayaan nasional tahunan Basque. Selain itu di tahun yang sama kelompok teroris IK (Ipartarrak) yang juga merupakan bagian dari ETA mencoba mengintensifkan aksi kekerasannya. Ditahun 1991 IK mengklaim bertanggung jawab atas serangkaian bom di tempat wisata di barat daya Perancis, selain itu pada September 1991 dan oktober 1999 IK berturut-turt melakukan aksi serangan bom di wilayah Bayonne.[1]
Pada tahun 1992 IK kemudian mendapatkan pukulan telak menyusul ditangkapnya beberapa anggota mereka dan kemudian dilarang memasuki wilayah Basque Perancis selama 2 tahun, selain itu pemimpin IK yang yang ditangkap kemudian dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Menanggapai hal tersebut ratusan warga Basque di Perancis kemudian memprotes keputusan tersebut meskipun otoritas Perancis pada akhirnya tidak mengubah keputusannya.
Pemberian hukuman penjara seumur hidup terhadap pimpinan IK membuat anggotanya kemudian melancarkan aksi kekerasannya dengan melakukan serangkaian aksi serangan bom diantaranya, serangan bom di paris pada awal 1993, peledakan pipa gas yang menghubungkan Spanyol dan Perancis, pengeboman sebuah kereta dan kantor pos didekat perbatasan Spanyol-Perancis. Sebagai imbas dari serangkaian aksi kekerasan tersebut kepolisian Perancis sedikitnya menangkap 20 orang anggota kelompok IK.
Pasca penangkapan beberapa anggota kelompok IK ditahun 1993, aksi-aksi kekerasan yang terjadi di perbatasan antara Perancis dan Spanyol diwilayah Basque mengalami peningkatan. Dalam kurun waktu 1994 sampai 1999 setidaknya terjadi ±  7 kali aksi serangan bom serta ± 200 anggota ETA dan IK ditangkap oleh otoritas kepolisian Perancis. Memasuki awal abad ke -21 pergerakan kelompok IK dan ETA di Perancis seolah-olah lenyap, hal ini dipengaruhi besar atas kerjasama kontra-teroris yang dilakukan oleh Spanyol dan Perancis. Sejak adanya kerjasama kontra-teroris antara Spanyol dan Perancis, kepolisian Perancis setidaknya telah menangkap 37 anggota kelompok ETA yang berada di wilayah Basque Perancis.
Rentetan sejarah panjang perlawanan kelompok ETA dalam memperjuangkan Basque Country pada akhirnya membuat stabilitas keamanan di Spanyol pada khususnya semakin mengkhawatirkan karena memecah konflik yang kemudian menjadi beberapa aktor yang memiliki kepentingan berbeda. Setidaknya ada tiga pihak dalam konflik Basque ini; Kelompok ETA, Spanyol dan Perancis. Dimana ketiga pihak ini memiliki mempunyai tujuan yang berbeda dalam melihat konflik tersebut. Kelompok ETA lebih melihat konflik ini sebagai suatu perjuangan nasionalisme untuk mendapatkan kemerdekaan bangsa Basque sedangkan Spanyol dan Perancis lebih melihat bagaimana cara mereka untuk mempertahankan kedaulatan mereka agar provinsi Basque di masing-masing negara tetap berada dibawah wilayah territorial mereka.[2]
Jika ditelaah lebih dalam rentetan aksi-aksi teror yang dilakukan oleh kelompok ETA dalam rangka mencapai tujuan politik mereka, ada semacam penggunaan logika terbalik dalam politik pencitraannya, antara lain : Pertama, Memperoleh konsesi-konsesi tertentu, seperti uang tebusan, pembebasan tahanan (politik) serta penyebarluasan pesan. Kedua, Memperoleh publisitas luas. Teroris ingin menarik perhatian masyarakat luas kepada aspirasi perjuangan dan pengakuan terhadap eksistensinya sebagai pihak yang bersengketa. Ketiga, Menimbulkan kekacauan luas, demoralisasi, dan disfungsi sistem sosial. Keempat, Memancing kontrateror dari pemerintah sehingga menimbulkan situasi yang akan dapat menguntungkan teroris tersebut sehingga semakin mempermudah untuk mencapai tujuan politik teroris tersebut. Kelima, memaksakan suatu kondisi yang seolah-olah pemerintah melakukan aksi teror terhadap masyarakatnya sendiri guna untuk memberantas aksi-aksi teror mereka.[3]



Tidak ada komentar: