Rabu, 16 November 2016

Sistem Pendaftaran Tanah (skripsi dan tesis)

Pendaftaran tanah adalah bertujuan untuk memperoleh suatu bentuk kepastian hukum dan kepastian hak bagi pemegang hak-hak atas tanah. Dengan adanya pendaftaran tanah ini diharapkan bahwa seseorang pemegang hak atas tanah akan merasa aman tidak ada gangguan hak yang dipunyai atas sebidang tanah. Perbuatan hukum dan pendaftaran tanah ini adalah merupakan suatu bentuk dari peristiwa hukum yang dilakukan oleh seseorang. Hak keperdataan ini jika ditinjau secara mendalam merupakan suatu bentuk pengejawantahan dari substansial Hak Asasi Manusia (HAM) yang dimiliki seseorang yang harus dijunjung tinggi dan dihormati oleh orang lain.
Pitlo[1], menyebutkan bahwa saat dilakukannya pendaftaran hak atas tanah maka hubungan hukum pribadi antara seseorang dengan tanah diumumkan kepada pihak ketiga atau masyarakat. Sejak saat itulah pihak ketiga dianggap mengetahui adanya hubungan hukum antara orang dengan tanah dimaksud, untuk mana ia menjadi terikat dan wajib menghormati hak tersebut sebagai suatu kewajiban yang timbul dari kepatutan.
Beberapa sistem pendaftaran tanah, yaitu :
a.       Sistem Torrens
b.      Sistem Positif
c.       Sistem Negatif
d.      Sistem Pendaftaran Tanah di Indonesia
Adapun penjelasan masing-masing sistem pendaftaran tanah di atas adalah :
a.       Sistem Torrens
Sesuai dengan namanya, sistem ini pertama kali diciptakan oleh Sir Robert Torrens di Australia Selatan. Sistem Torens ini lebih dikenal dengan nama aslinya The Real Property Act atau Torrens Act yang mulai berlaku di Australia Selatan sejak 1 Juli 1858. Dewasa ini pendaftaran tanah dengan sistem Torrens ini dipergunakan beberapa negara, seperti Aljazair, India, Singapura, Tunisia, Kongo, Spanyol, Norwegia, Malaysia, Kepulauan Fiji, Canada, Jamaica, Trinidad.
Dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah dari pola atau sistem Torrens ini pada pokoknya menyelidiki hal-hal sebagai berikut :
1)      Obyek yang didaftarkan jelas
2)      Pejabat yang berwenang yakin bahwa dapat diberikan kepada si pemohon
3)      Tidak terdapat sengketa atas tanah yang dimohonkan hak tersebut
4)      Tidak ada yang menyangkal bukti atas hak yang dimiliki oleh si pemohon itu.
Pendaftaran tanah dengan sistem Torrens ini mempunyai kesamaan dengan sistem negatif hanya saja setiap pendaftaran hak atas tanah dikenakan biaya tambahan seperlima persen dari harga tanah.
Berdasarkan beberapa jenis sistem pendaftaran tanah sebagaimana diuraikan di atas, maka timbul pertanyaan sistem pendaftaran manakah yang digunakan di Indonesia.
Menjawab pertanyaan di atas Suprapto R. menyatakan bahwa:[2] “Sistem pendaftaran tanah yang kita gunakan adalah sistem pendaftaran negatif bertendensi positif, artinya pendaftaran hak-hak atas tanah dilaksanakan berdasarkan atas data-data yang positif, pejabat yang diserahi tugas melaksanakan pendaftaran mempunyai wewenang menguji kebenaran dari data-data yang dipergunakan sebagai dasar pendaftaran hak. Pendaftaran merupakan jaminan kepastian hukum dan alat pembuktian yang kuat, namun masih dapat dibantah, digugat di muka pengadilan”.
b.      Sistem Positif
Menurut sistem positif ini bahwa suatu sertifikat tanah yang diberikan itu adalah berlaku sebagai tanda bukti atas tanah yang mutlak serta merupakan satu-satunya tanda bukti hak atas tanah.
Ciri pokok Sistem Positif ini adalah bahwa pendaftaran tanah atau pendaftaran hak atas tanah untuk menjamin dengan sempurna bahwa nama yang terdaftar dalam buku tanah tidak dibantah walaupun ternyata ia bukanlah pemilik yang berhak atas tanah tersebut.
Sistem Positif ini memberikan kepercayaan yang mutlak kepada buku tanah. Pejabat-pejabat balik nama tanah dalam sistem ini memainkan peranan yang sangat aktif. Bahwa hubungan hukum antara hak dari orang yang namanya terdaftar dalam buku tanahnya dengan pemberi hak sebelumnya terputus sejak hak tersebut didaftarkan.[3]
Adapun kebaikan dari Sistem Positif ini adalah :
1)      Adanya kepastian dari buku tanah
2)      Peranan aktif dari pejabat balik nama tanah
3)      Mekanisme kerja dalam penerbitan sertipikat tanah dengan mudah dimengerti oleh orang awam.
Pihak ketiga yang beritikad baik yang bertindak berdasarkan bukti tersebut menurut Sistem Positif ini mendapatkan jaminan mutlak walaupun ternyata bahwa segala keterangan yang tercantum dalam sertipikat tanah tersebut adalah tidak benar. Adapun kelemahan dari Sistem Positif ini adalah :
1)      Peranan aktif Pejabat Balik Nama Tanah akan memakan waktu yang lama
2)      Pemilik yang sebenarnya berhak atas tanah akan kehilangan haknya oleh karena kepastian dari buku tanah itu sendiri
3)      Wewenang Pengadilan diletakkan dalam wewenang administratif
c.       Sistem Negatif
Menurut Sistem Negatif ini bahwa segala apa yang tercantum di dalam sertipikat tanah dianggap benar sampai dapat dibuktikan suatu keadaan yang sebaliknya (tidak benar) di muka sidang Pengadilan. Asas peralihan hak atas tanah menurut ciri pokok Sistem Negatif ini adalah bahwa pendaftaran hak atas tanah tidaklah menjamin bahwa nama-nama yang terdaftar dalam buku tanah tidak dapat untuk dibantah jika nama yang terdaftar bukanlah pemilik yang sebenarnya.
Ciri lainnya bahwa Pejabat Balik Nama Tanah berperan pasif artinya pejabat yang bersangkutan tidak berkewajiban untuk menyelidiki kebenaran dari surat-surat yang diserahkan kepadanya.
Adapun kebaikan dari Sistem Negatif ini adalah adanya perlindungan kepada pemegang hak yang sebenarnya. Kelemahan dari sistem negatif adalah :
1)      Peranan pasif Pejabat Balik Nama Tanah yang menyebabkan tumpang tindihnya sertipikat tanah
2)      Mekanisme kerja dalam proses penerbitan sertipikat tanah sedemikian rupa sehingga kurang dimengerti oleh orang awam.
d.      Sistem Pendaftaran Tanah di Indonesia
Sistem pendaftaran tanah di Indonesia adalah sistem negatif. Hal tersebut karena dapat dilihat dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c Undang-Undang Pokok Agraria yang menyatakan : “Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat”.
Kuat artinya bahwa sertifikat tanah yang diberikan adalah tidak mutlak dan membawa akibat hukum bahwa segala apa yang tercantum di dalamnya dianggap benar sepanjang tidak ada orang yang membuktikan sebaliknya yang menyatakan bahwa sertipikat itu adalah tidak benar atau dapat digugurkan.[4]
Meskipun sistem pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah tersebut merupakan sistem negatif namun para petugas pendaftaran tidak bersikap pasif, artinya mereka tidak menerima begitu saja apa yang diajukan dan dikatakan oleh pihak-pihak yang meminta pendaftaran.
Berdasarkan hal tersebut maka sistem yang dipergunakan adalah sistem negatif mengandung unsur positif, yang berarti bahwa kegiatan-kegiatan tersebut dilaksanakan secara seksama untuk mendapatkan data yang sejauh mungkin dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, dan sistem tersebut menghasilkan surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya yang sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan. Selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya maka harus diterima sebagai data yang benar dalam perbuatan hukum.
Kelemahan sistem negatif adalah bahwa pihak yang namanya tercantum sebagai pemegang hak dalam buku tanah dan sertipikat selalu menghadapi kemungkinan gugatan dari pihak lain yang merasa mempunyai tanah itu. Pada umumnya kelemahan itu diatasi dengan menggunakan lembaga acquisitieve verjaring atau adverse possession.
Hukum tanah kita yang memakai hukum adat tidak mengenalnya, tetapi dalam hukum adat terdapat lembaga yang dapat digunakan untuk mengatasi kelemahan sistem publikasi negatif dalam pendaftaran tanah yaitu lembaga rechtsverwerking. Dalam hukum adat jika seseorang selama sekian waktu membiarkan tanahnya tidak dikerjakan, kemudian tanah itu dikerjakan orang lain yang memperolehnya dengan itikad baik, maka hilanglah haknya untuk menuntut kembali tanah tersebut. Ketentuan Pasal 27, 34 dan 40 Undang-Undang Pokok Agraria yang mengatur hapusnya hak atas tanah karena diterlantarkan sesuai dengan lembaga tersebut



Tidak ada komentar: