Rabu, 16 November 2016

Hubungan Antar Pihak dalam Perlindungan Konsumen (Skripsi dan Tesis)


Untuk menciptakan kenyamanan dalam berusaha dan untuk menciptakan pola hubungan yang seimbang antara (pelaku usaha) dan konsumen maka perlu adanya hak dan kewajiban masing-masing pihak. Hal tersebut lebih lanjut diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Menurut Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, meliputi [1]:
a.         Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
b.         Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik.
c.         Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.
d.        Hak untuk merehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang/jasa yang diperdagangkan.
Sedangkan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur mengenai Kewajiban (Pelaku Usaha) yang meliputi[2]:
a.       Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
b.      Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikkan, dan pemeliharaan.
c.        Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif
d.       Menjamin mutu barang/jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.
e.       Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba barang/jasa tertentu serta member jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan.
f.       Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatanbarang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
g.      Memberi kompensasi dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Bagi (pelaku usaha), selain dibebani kewajiban sebagaimana disebutkan di atas, ternyata dikenakan larangan-larangan yang diatur dalam Pasal 8 sampai dengan 17 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur larangan bagi pelaku usaha yang sifatnya umum dan secara garis besar dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu :
a.         Larangan mengenai produk itu sendiri, yang tidak memenuhi syarat dan standar yang layak untuk dipergunakan atau dipakai atau dimanfaatkan oleh konsumen.
b.         Larangan mengenai ketersediaan informasi yag tidak benar, tidak akurat, dan yang menyesatkan konsumen.
Di samping adanya hak dan kewajiban yang perlu diperhatikan oleh developer (pelaku usaha), ada tanggung jawab (Product Liability) yang harus dipikul oleh developer (pelaku usaha) sebagai bagian dari kewajiban yang mengikat kegiatannya dalam berusaha. Sehingga diharapkan adanya kewajiban dari developer (pelaku usaha) untuk selalu bersikap hati-hati dalam memproduksi barang/jasa yang dihasilkannya
Tanggung jawab (Product Liability) dapat didefinisikan sebagai suatu tanggung jawab secara hukum dari orang/badan yang menghasilkan suatu produk (producer, manufacturer), dari orang/badan yang bergerak dalam suatu proses untuk menghasilkan suatu produk (processor, assembler) atau mendistribusikan (seller, distributor) produk tersebut.
Berbicara mengenai tanggung jawab, maka tidak lepas dari prinsip-prinsip sebuah tanggung jawab, karena prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting dalam perlindungan konsumen. Secara umum prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan, yaitu[3] :
a.    Prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan (liability based on fault), yaitu prinsip yang menyatakan bahwa seseorang baru dapat diminta pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya;
b.    Prinsip praduga untuk selalu bertanggungjawab (Presumption of libility), yaitu prinsip yang menyatakan tergugat selalu dianggap bertanggung jawab sampai ia dapat membuktikan, bahwa ia tidak bersalah, jadi beban pembuktian ada pada tergugat.
c.    Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (Presump of nonliability), yaitu prinsip ini merupakan kebalikan dari prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab, di mana tergugat selalu dianggap tidak bertanggung jawab sampai dibuktikan, bahwa ia bersalah.
d.   Prinsip tanggung jawab mutlak (Strict libility), dalam prinsip ini menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan, nemun ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya keadaan force majeur.
e.    Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability), dengan adanya prinsip tanggung jawab ini, pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausula yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya. Jika ada pembatasan, maka harus berdasarkan pada perundang-undangan yang berlaku.
Tanggung jawab pelaku usaha atas kerugian konsumen dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, diatur khusus dalam BAB VI, mulai dari Pasal 19 sampai dengan Pasal 28, Memperhatikan substansi Pasal 19 ayat (1) Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dapat diketahui bahwa tanggung jawab pelaku usaha meliputi :
a. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan,
b. Tanggung jawab ganti kerugian atas pencemaran,
c. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerugian konsumen.
Berdasarkan hal ini, maka adanya produk barang dan/atau jasa yang cacat bukan merupakan satu-satunya dasar pertanggungjawaban pelaku usaha. Hal ini berarti, bahwa tanggung jawab pelaku usaha meliputi segala kerugian yang dialami konsumen. Penerapan konsep product liability ternyata tidak mudah, dalam system pertanggungjawaban secara konvensional, tanggung gugat produk didasarkan adanya



Tidak ada komentar: