Rabu, 16 November 2016

Dasar Hukum Jual Beli Tanah Pertanian (Skripsi dan Tesis)


Manusia merupakan mahluk sosial (Zoon Politicon), artinya manusia tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain. Oleh karena itu dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, ia akan tergantung kepada bantuan orang lain. Kebutuhan manusia untuk dapat hidup layak bermacam-macam jenisnya. Kebutuhan untuk makan, minum, pakaian, tempat tinggal, dan lain-lain. Manusia didalam memenuhi kebutuhan hidupnya tersebut melakukan tukar menukar, jual beli dan lain-lain. Selanjutnya penelitian ini akan membahas mengenai jual beli, khususnya tentang peralihan hak atas tanah
1.      Dasar Hukum Jual Beli Tanah Pertanian
Jual beli tanah pertanian pengaturannya berbeda dengan tanah non pertanian. Perbedaan ini karena terjadi untuk menjaga agar tanah pertanian tidak cepat habis karena telah berubahnya fungsi penggunaan tanah pertanian menjadi tanah non pertanian. Cara untuk mencegah habisnya tanah pertanian adalah dengan melakukan pengawasan. Pengawasan dilakukan oleh Instansi yang berwenang yang ditunjuk sehingga setiap terjadi jual beli tanah pertanian harus meminta ijin dari instansi tersebut.
Jual beli tanah pertanian pengaturannya berpedoman kepada pasal-pasal dalam UUPA dan peraturan-peraturan pelaksanaannya. Pasal-pasal tersebut diberlakukan untuk melindungi kepentingan petani agar tersedia tanah pertanian yang memadai dan mengusahakan supaya tanah pertanian dikerjakan oleh petani sehingga dapat menghindari pengolahan tanah pertanian yang kurang efisien.
Pengertian petani adalah orang, baik yang mempunyai maupun tidak mempunyai tanah pertanian sendiri tetapi mata pencaharian pokoknya adalah mengusahakan tanah untuk pertanian. Profesi petani dapat dikategorikan menjadi pemilik tanah, penggarap, dan buruh tani.
Pengertian pemilik tanah adalah orang yang memiliki tanah pertanian yang perolehannya berasal dari pewarisan, jual beli dan lain-lain. Pemilik tanah dalam mengusahakan tanah pertaniannya dapat dikerjakan atau diolah sendiri atau diserahkan pengolahannya kepada orang lain. Pengertian penggarap adalah petani yang secara sah mengusahakan secara aktif tanah pertanian yang bukan miliknya dengan menanggung seluruh atau sebagain dari resiko produksinya. Penggarap dalam mengusahakan atau mengolah tanah pertanian pemilik tanah dilakukan dengan berbagai cara. Cara-cara yang ditempuh oleh penggarap antara lain dengan mengadakan perjanjian bagi hasil tanah pertanian, sewa menyewa tanah pertanian dan lain-lain. Pengertian buruh tani adalah petani yang mengusahakan tanah pertanian orang lain dan dia mendapat upah atas hasil kerjanya tersebut. Jadi, buruh tani dibayar oleh pemilik tanah pertanian untuk mengerjakan tanahnya.
Pasal-pasal di dalam UUPA yang mengatur masalah pemilikan dan penguasaan tanah pertanian dan peralihan hak milik atas tanah pertanian antara lain :
a.       Pasal 7 UUPA
Pasal tersebut isinya melarang pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas karena hal tersebut dapat merugikan kepentingan umum. Pelarangan pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas di dalam pasal tersebut termasuk adalah tanah pertanian.
Alasannya karena perbuatan tersebut menyebabkan terbatasnya persediaan tanah pertanian terutama di daerah yang padat penduduknya. Hal tersebut mengakibatkan menyempitnya luas tanah pertanian yang dimiliki oleh petani bahkan ada kemungkinan petani tidak dapat memiliki tanah pertanian sendiri.
Jadi, pasal tersebut dibuat dengan maksud untuk mencegah pemilikan dan penguasaan tanah di tangan golongan-golongan dan orang-orang tertentu saja. Pasal ini dalam pelaksanaannya tidak ada pengecualiannya dan berkaitan dengan Pasal 17 UUPA.
b.      Pasal 10 UUPA
Pasal 10 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa setiap orang dan badan hukum yang memiliki hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan untuk mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif dengan mencegah cara-cara pemerasan.
Di dalam isi pasal tersebut disebutkan adanya kewajiban untuk mengerjakan atau mengusahakan sendiri tanah pertanian secara aktif artinya pemilik tanah pertanian tersebut secara langsung turut serta dalam proses produksi.
Kewajiban untuk mengusahakan atau mengerjakan tanah pertanian sendiri tersebut tidak berarti bahwa semua pekerjaan harus dilakukan oleh pemilik tanah pertanian sendiri. Tenaga buruh diperbolehkan dalam proses produksi tetapi tidak boleh terjadi cara-cara pemerasan didalam pelaksanaannya.
Cara-cara pemerasan yang dapat terjadi pada buruh seperti pemberian upah yang terlampau rendah kepada buruh tani. Tindakan pemerasan tersebut tentu saja bertentangan dengan Undang-undang Pokok Agraria yang menghendaki adanya perlindungan dan jaminan atas nasib para buruh tani yang diatur dalam Pasal 13 ayat (4) UUPA.
Pasal 10 ayat (1) UUPA ini pada pelaksanaannya ada pengecualiannya yang diatur dalam peraturan perundangan (Pasal 10 ayat (3) UUPA dan Penjelasan pasal 10 ayat (3) UUPA).
c.       Pasal 15 UUPA
Kewajiban bagi setiap orang, badan hukum, atau instansi yang berhubungan dengan tanah tersebut untuk memelihara tanah termasuk menambah kesuburan tanah dan mencegah kerusakannya dengan memperhatikan pihak yang ekonominya lemah.
d.      Pasal 17 UUPA
Ketentuan Pasal 17 UUPA merupakan pelaksanaan dari Pasal 7 UUPA, Pasal 17 UUPA antara lain mengatur mengenai :
1)      Pasal 17 ayat (1) mengatur masalah pemilikan dan penguasaan maksimum dan minimum luas tanah yang dapat dimiliki oleh satu keluarga atau badan hukum.
2)      Pasal 17 ayat (3) mengatur masalah pemberian ganti rugi atas tanah-tanah yang diambil oleh pemerintah yang berasal dari tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum pemilikan dan penguasaan tanah.
e.       Pasal 19 UUPA
Ketentuan untuk melakukan pendaftaran tanah oleh Pemerintah demi menjamin kepastian hukum di seluruh wilayah Republik Indonesia (Pasal 19 ayat (1) UUPA). Pendaftaran tanah menurut Pasal 19 ayat (2) UUPA meliputi :
1)      Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah
2)      Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut.
3)      Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Ketentuan mengenai biaya-biaya yang berkaitan dengan pendaftaran tanah diatur dalam Peraturan Pemerintah dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut (Pasal 19 ayat (4) UUPA).
f.       Pasal 20-27 UUPA
Ketentuan ini mengatur mengenai pengertian hak milik, orang-orang yang dapat memiliki hak milik, terjadinya hak milik, hapusnya dan pembebanan hak milik.
Selain UUPA (LN 1960-104) dan penjelasannya (TLN 2043) ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah pemilikan dan penguasaan tanah pertanian dan peralihan hak milik atas tanah pertanian antara lain :
  1. Undang-undang Nomor 56/Prp/1960 (LN1960-174) dan penjelasannya (TLN 2117)
Ketentuan di dalam peraturan perundang-undangan ini mengatur masalah penetapan luas tanah pertanian yang isinya antara lain :
a.       Penetapan luas maksimum pemilikan dan penguasaan tanah pertanian yang memakai dasar keluarga (Pasal 1 ayat (1)).
b.      Faktor-faktor yang mempengaruhi penetapan luas maksimum pemilikan dan penguasaan tanah pertanian (Pasal 1 ayat (2)).
c.       Penetapan luas maksimum pemilikan dan penguasaan tanah pertanian tidak berlaku terhadap tanah pertanian tertentu (Pasal 1 ayat (4)).
d.      Ketentuan penetapan luas maksimum pemilikan dan penguasaan tanah pertanian jika jumlah anggota keluarga lebih dari 7 orang (Pasal 2 ayat (1) dan (2)).
e.       Kewajiban untuk melapor apabila memiliki tanah pertanian melebihi batas maksimum pemilikan dan penguasaan luas maksimum tanah pertanian (Pasal 3).
f.       Larangan untuk memindahkan tanah pertanian yang jumlahnya melebihi luas maksimum baik sebagian atau seluruhnya tanpa izin (Pasal 4).
g.      Penyelesaian mengenai tanah kelebihan dari luas maksimum diatur dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan keinginan pihak yang bersangkutan (Pasal 5).
h.      Kewajiban bagi seseorang yang memiliki tanah pertanian melebihi luas maksimum untuk melepaskan tanahnya paling lambat 1 tahun sejak diperolehnya tanah tersebut (Pasal 6).
i.        Usaha Pemerintah agar setiap petani sekeluarga memiliki tanah pertanian minimum 2 hektar (Pasal 8).
j.        Larangan pemindahan hak atas tanah tanah pertanian jika pemindahan hak tersebut mengakibatkan timbulnya pemilikan tanah pertanian yang luasnya kurang dari 2 hektar. Larangan tersebut tidak berlaku jika pemilik tanah pertanian yang memiliki tanah kurang 2 hektar tersebut menjual tanahnya sekaligus (Pasal 9 ayat (1)).
k.      Kewajiban untuk menunjuk salah seorang diantaranya atau memindahkannya kepada orang lain dalam waktu 1 tahun jika tanah pertanian dimiliki oleh 2 orang atau lebih yang luas tanahnya kurang dari 2 hektar (Pasal 9 ayat (2)).
2.      PP No. 24/1997 (LN 1997-50) dan penjelasannya (TLN 3696).
Peraturan Pemerintah tersebut mengatur masalah pendaftaran tanah. PP No. 10/1961 diganti dengan PP No. 24/1997 karena PP No. 10/1961 dianggap belum cukup memberikan hasil yang memuaskan. Oleh karena itu untuk meningkatkan dukungan yang lebih baik pada pembangunan nasional dengan memberikan kepastian hukum di bidang pertanahan maka dipandang perlu adanya penyempurnaan pada ketentuan yang mengatur pendaftaran tanah.
Ketentuan Peralihan Pasal 64 ayat (1) PP No. 24/1997 menyatakan bahwa semua peraturan Perundang-undangan sebagai pelaksanaan PP No. 10/1961 yang telah ada masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau diubah atau diganti berdasarkan PP No. 24/1997.
Ketentuan Peralihan Pasal 64 ayat (2) PP No. 24/1997 mengatur bahwa hak-hak yang didaftar serta hal-hal lain yang dihasilkan dalam kegiatan pendaftaran tanah berdasarkan ketentuan PP No. 10/1961 tetap sah sebagai hasil pendaftaran tanah menurut PP No. 24/1997. Ketentuan Peralihan Pasal 64 memungkinkan pendaftaran tetap dilaksanakan tanpa ditunda menunggu tersedianya secara lengkap peraturan-peraturan pelaksanaannya yang baru[1].
Setiap peralihan hak atas tanah seperti jual beli hak milik atas tanah pertanian harus didaftarkan peralihannya ke Kantor Pertanahan. Hal ini penting agar data yang disimpan di Kantor Pertanahan baik data fisik maupun data yuridis selalu sesuai dengan keadaan nyata di lapangan. Ketentuan pelaksanaan PP Nomor 24 Tahun 1997 mendapat pengaturan secara lengkap dan rinci dalam Permeneg Agraria/Kepala BPN No. 3/1997.
3.      PP No. 37/1998 (LN 1998-52) dan penjelasannya (TLN 3746).
Peraturan Pemerintah tersebut mengatur tentang peraturan jabatan PPAT. Peraturan mengenai PPAT dibuat karena PPAT mempunyai peranan yang sangat penting di dalam pencatatan perubahan data yuridis yang sudah tercatat sebelumnya.
PPAT sangat penting di dalam pendaftaran tanah karena setiap peralihan dan pembebanan hak atas tanah hanya dapat didaftar jika dibuktikan dengan akta PPAT. PPAT selain berfungsi di dalam pelayanan masyarakat di bidang pertanahan dengan membuatkan akta, PPAT juga berfungsi di dalam peningkatan sumber penerimaan negara. Peranan PPAT didalam peningkatan sumber penerimaan negara adalah memeriksa telah dibayarnya Pajak Penghasilan (PPh) dari penghasilan akibat pemindahan hak atas tanah dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebelum membuat akta.
PP No. 37/1998 dilaksanakan berdasarkan Permeneg Agraria/Kepala BPN No. 4/1999 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 37/1998 jo Surat Meneg Agraria/Kepala BPN 1 April 1999 No. 640-1198 tentang Penjelasan Permeneg Agraria/Kepala BPN No. 4/1999.
4.      Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 (LN 2000-130) dan penjelasannya (TLN 3988).
Undang-undang tersebut mengatur perubahan atas Undang-undang No. 21/1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan. Diberlakukannya Undang-undang tersebut menyebabkan setiap peralihan hak atas tanah pertanian karena jual beli dikenakan pajak baik terhadap penjual maupun pembeli.


Tidak ada komentar: