Rabu, 16 November 2016

Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen (Skripsi dan Tesis)


Secara harafiah, konsumen mempunyai pengertian sebagai pemakai barang dan jasa yang dihasilkan produsen, sedangkan produsen diartikan sebagai setiap penghasil barang dan jasa yang dikonsumsi oleh pihak lain atau orang lain.[1] Kata konsumen berasal dari bahasa Belanda, yaitu konsument, yang oleh para ahli hukum disepakati berarti sebagai pemakai terakhir dari benda dan jasa  (uitenindelijk gebruiker van gorden en diesten) yang diserahkan oleh mereka kepada pengusaha (ondernemer), jadi mereka yang mengkonsumsi untuk dijual kembali (pemakai perantara) tidak termasuk kelompok yang dikategorikan dalam pengertian konsumen.[2]
Perlindungan konsumen itu mendapatkan perhatian secara global mengingat  di dalam konsideran resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 39/ 248 yang menyebutkan: taking into account interest and consumers in all countries, particularly those in developing countries, recognizing that consumers often faces imbalances in economics terms, educational level, and bargaining power.[3]
Berdasarkan isi  pasal dalam Directive Masyarakat Ekonomi Eropa yang mengedepankan konsep Liability Without Fault tersebut dapat diketahui bahwa pengertian konsumen adalah ditujukan kepada seseorang pribadi yang menderita kerugian, baik jiwa, kesehatan maupun harta benda, akibat pemakaian produk cacat untuk keperluan pribadinya. Atas kerugian yang diderita tersebut, konsumen dapat menuntut untuk diberikan kompensasi. Jadi dalam hal ini pengertian konsumen secara khusus hanya ditujukan kepada pemakai produk cacat untuk keperluan pribadi.[4] Di Indonesia, perlindungan konsumen secara jelas dan tegas baru dilakukan pada tahun 1999 dengan diundangkannya Undang-undang No 8 Tahun 1999.
Rumusan pengertian perlindungan konsumen yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut Undang-Undang Perlindungan Konsumen / UUPK) tersebut cukup memadai. Kalimat yang menyatakan ”segala upaya yang menjamin adanya adanya kepastian hukum”, diharapkan sebagai upaya benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan konsumen.[5]
Meskipun Undang-undang ini disebut sebagai Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) namun bukan berarti kepentingan pelaku usaha tidak ikut menjadi perhatian, teristimewa karena keberadaan perekonomian nasional banyak ditentukan oleh para pelaku usaha.[6]
Kesewenang-wenangan akan mengakibatkan ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, agar segala upaya memberikan jaminan akan kepastian hukum, ukurannya secara kualitatif ditentukan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan undang-undang lainnya yang juga dimaksudkan dan masih berlaku untuk memberikan perlindungan konsumen baik dalam Hukum Privat (Perdata) maupun hukum publik (Hukum Pidana dan Hukum Administrasi Negara). Keterlibatan berbagai disiplin ilmu sebagaimana dikemukakan di atas, memeperjelas kedudukan Hukum Perlindungan Konsumen berada dalam kajian Hukum Ekonomi.
Setiap pekerjaan mempunyai tujuan, pada sisi lain bidang konsumen ini telah mengalami pertumbuhan seiring dengan semakin kompleksnya permasalahan yang dialami oleh konsumen, salah satu masalahnya adalah kerugian yang dialami konsumen akibat cacat dan berbahaya.  Jika masalah perlindungan dengan konsumen itu mendasar pada adanya  saling membutuhkan antara produsen dan konsumen dengan prinsip kesederajatan sama hak-hak konsumen menimbulkan kewajiban produsen maka sebenarnyalah produsen bertanggung jawab terhadap barang-barang yang dibeli dari produsen. Oleh karena itu selain peraturan perundang-undangan perlindungan hukum bagi konsumen mempunyai dua aspek yaitu [7]:
Cabang-cabang hukum publik yang berkaitan dan berpengaruh atas hukum konsumen umumnya adalah hukum administrasi, hukum pidana dan hukum internasional terutama konvensi-konvensi internasional yang berkaitan dengan praktik bisnis, maupun Resolusi PBB tentang perlindungan konsumen sepanjang telah diratifikasi oleh Indonesia sebagai salah satu anggota. Di antara cabang hukum ini, tampaknya yang paling berpengaruh pada hubungan dan masalah yang termasuk hukum konsumen atau perlindungan konsumen adalah hukum pidana dan hukum administrasi negara sebagaimana diketahui bahwa hukum publik pada pokoknya mengatur hubungan hukum antara instansi-instansi pemerintah dengan masyarakat, selagi instansi tersebut bertindak selaku penguasa.
Kewenangan mengawasi dan bertindak dalam penerapan hukum yang berlaku oleh aparat pemerintah yang diberikan wewenang untuk itu, sangat perlu bagi perlindungan konsumen. Berbagai instansi berdasarkan peraturan perundang-undangan tertentu diberikan kewenangan untuk menyelidiki, menyidik, menuntut, dan mengadili setiap perbuatan pidana yang memenuhi unsur-unsur dari norma-norma hukum yang berkaitan.
Penerapan norma-norma hukum pidana seperti yang termuat dalam KUHP atau di luar KUHP sepenuhnya diselenggarakan oleh alat-alat perlengkapan negara yang diberikan wewenang oleh Undang-undang untuk itu. KUHP No. 8 Tahun 1981 (LN 1981 No. 76) menetapkan setiap Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia berwenang untuk melakukan tindakan penyelidikan dan penyidikan atas suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana. Disamping itu pihak polisi, pegawai negeri sipil tertentu juga diberi wewenang khusus untuk melakukan tindak penyelidikan. Penerapan KUHP dan peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan tindak pidana oleh badan-badan tata usaha negara memang menguntungkan bagi perlindungan konsumen. Oleh karena itu keseluruhan proses perkara menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah. Konsumen yang karena tindak pidana tersebut menderita kerugian, sangat terbantu dalam mengajukan gugatan perdata ganti ruginya. Berdasarkan hukum atau kenyataan beban pembuktian yang diatur dalam Pasal 1865 KUH Perdata sangat memberatkan konsumen. Oleh karena itu fungsi perlindungan sebagian kepentingan konsumen penerapannya perlu mengeluarkan tenaga dan biaya untuk pembuktian peristiwa atau perbuatan melanggar hukum pelaku tindak pidana. [8]
Dalam hukum perdata yang lebih banyak digunakan atau berkaitan dengan asas-asas hukum mengenai hubungan atau masalah konsumen adalah buku ketiga tentang perikatan dan buku keempat mengenai pembuktian dan daluarsa. Buku ketiga memuat berbagai hubungan hukum konsumen. Seperti perikatan, baik yang terjadi berdasarkan perjanjian saja maupun yang lahir berdasarkan Undang-undang. Hubungan hukum konsumen adalah untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUH Perdata). [9]
Hubungan konsumen ini juga dapat kita lihat pada ketentuan Pasal 1313 sampai Pasal 1351 KUH Perdata. Pasal 1313 mengatur hubungan hukum secara sukarela di antara konsumen dan produsen, dengan mengadakan suatu perjanjian tertentu. Hubungan hukum ini menimbulkan hak dan kewajiban pada masing-masing pihak.
Perikatan karena Undang-undang atau akibat sesuatu perbuatan menimbulkan hak dan kewajiban tertentu bagi masing-masing pihak (ketentuan Pasal 1352 KUH Perdata). Selanjutnya di antara perikatan yang lahir karena Undang-undang yang terpenting adalah ikatan yang terjadi karena akibat sesuatu perbuatan yang disebut juga dengan perbuatan melawan hukum (ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata). Pertanggung jawaban perbuatan itu tidak saja merupakan perbuatan sendiri tetapi juga dari orang yang termasuk tanggung jawabnya seperti yang diatur pada Pasal 1367-1369 KUH Perdata.
Pembahasan dalam tulisan ini dibatasi pada aspek hukum privat/perdata dalam usaha perlindungan hukum terhadap konsumen. Perbuatan melawan hukum (on rechtmatigedaad) diatur dalam buku ketiga titel 3 Pasal 1365 sampai 1380 KUH Perdata, dan merupakan perikatan yang timbul dari Undang-undang. Perikatan dimaksud dalam hal ini adalah terjadi hubungan hukum antara konsumen dan produsen dalam bentuk jual beli yang melahirkan hak dan tanggung jawab bagi masing-masing pihak dan apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya akan menimbulkan permasalahan dalam hubungan hukumnya.
Hukum Ekonomi yang dimaksudkan dalam hal ini adalah keseluruhan kaidah hukum administrasi negara yang membatasi hak-hak individu yang dilindungi dan dikembangkan oleh hukum perdata. Peraturan-peraturan seperti ini merupakan peraturan Hukum Administrasi Negara di bidang Ekonomi yang akhirnya dicakup dalam satu kategori sebagai Droit Eqonomique.[10]  Sunaryati Hartono mengatakan bahwa hukum ekonomi adalah seluruh peraturan dan pemikiran hukum mengenai cara-cara peningkatan dan pengembangan kehidupan ekonomi dan cara-cara pembagian hasil pembangunan ekonomi secara dan merata, sesuai dengan hak asasi manusia.[11]
Kemudian, pemerintah perlu mengontrol atau mengawasi penataan terhadap peraturan-peraturan tersebut. Sekedar membuat peraturan tanpa mengawasi pelaksanaannya di lapangan tidaklah bermanfaat banyak. Yang paling penting adalah bagaimana produsen menaati peraturan tersebut di dalam usahanya memproduksi dan mengedarkan produknya. Dengan demikian, jangan sampai beredar ke masyarakat produk yang tidak memenuhi syarat standar, yang kemudian dapat merugikan konsumen.
Berbicara tentang perlindungan konsumen sama halnya dengan membicarakan tanggung jawab produsen atau tanggung jawab produk, karena pada dasarnya tanggung jawab produsen dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Dengan demikian, di bawah ini akan dikemukakan pula pengertian tanggung jawab produk. Tanggung jawab produk adalah terjemahan dari istilah asing, yaitu : product (s) liability; produkt (en) aansprakelijkheid; sekalipun ada yang lebih tepat terjemahan sebagai ” tanggung jawab produsen ”, yakni istilah Jerman yang sering digunakan dalam kepustakaan, yakni produzenten-haftung.[12] Untuk pengertian tanggung jawab produk, di bawah ini akan dikemukakan pendapat Agnes M. Toar, sebagai berikut, ”tanggung jawab produk adalah tanggung jawab para produsen untuk produk yang telah dibawanya ke dalam peredaran, yang menimbulkan / menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut.”[13]
Dalam ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang isinya menyatakan bahwa perlindungan konsumen berasaskan asas manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum. Oleh karena itu perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional yaitu ;
1.      Asas manfaat;
2.      Asas keadilan;
3.      Asas keseimbangan;
4.      Asas keamanan dan keselamatan konsumen;
5.      Asas kepastian hukum.[14]
Berikut ini merupakan penjelasan dari masing-masing asas-asas dalam Perlindungan konsumen di atas:
a.       Asas manfaat
Asas ini dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
Asas ini menghendaki bahwa pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen tidak dimaksudkan untuk menempatkan salah satu pihak di atas pihak lain atau sebaliknya, tetapi adalah untuk memberikan kepada masing-masing pihak, produsen dan konsumen apa yang menjadi haknya. Dengan demikian, diharapkan bahwa pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat dan pada gilirannya bermanfaat bagi kehidupan berbangsa.
b.      Asas Keadilan
Asas ini dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan dapat memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya.
c.       Asas keseimbangan
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil dan spiritual. Asas ini menghendaki agar konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah memperoleh manfaat yang seimbang dari peraturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen. Kepentingan antara konsumen, produsen dan pemerintah diatur dan harus diwujudkan secara seimbang sesuai dengan hak dan kewajiban masing-masing dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak ada dalam salah satu pihak yang mendapat perlindungan atas kepentingan yang lebih besar dari pihak lain sebagai komponen bangsa dan negara.
d.      Asas keamanan dan keselamatan konsumen
Asas ini dimaksudkan untuk memeberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/ atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. Asas ini menghendaki adanya jaminan kepastian hukum bahwa konsumen akan memeperoleh manfaat dari produk yang dikonsumsi dan sebaliknya bahwa produk yang dikonsumsi tersebut tidak akan mengancam ketentraman jiwa dan harta bendanya.
e.       Asas kepastian hukum
Asas ini dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Achmad Ali mengatakan masing-masing Undang-undang memiliki tujuan khusus.[15] Hal ini juga tampak pada pengaturan Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang mengatur tujuan khusus perlindungan konsumen, sekaligus membedakan dengan tujuan umum sebagaimana dikemukakan berkenaan dengan ketentuan Pasal 2 di atas. Adapun tujuan dari perlindungan konsumen adalah sbagai berikut:[16]
a.       Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
b.      Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/ atau jasa;
c.       Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan memantau hak-haknya sebagai konsumen;
d.      Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
e.       Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;
f.       Meningkatkan kualitas barang dan/ atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini, merupakan isi pembangunan nasional sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 sebelumnya, karena tujuan perlindungan konsumen yang ada itu merupakan sasaran akhir yang harus dicapai dalam pelaksanaan pembangunan di bidang hukum perlindungan konsumen.bKeenam tujuan khusus perlindungan konsumen yang disebutkan di atas bila dikelompokkan ke dalam tiga tujuan hukum secara umum, maka tujuan hukum untuk mendapatkan keadilan terlihat dalam rumusan huruf c, dan huruf e. Semetara tujuan untuk memberikan kemanfaatan dapat terlihat dalam rumusan huruf a, dan b, termasuk huruf c, dan d, serta huruf f. Terakhir tujuan khusus yang diarahkan untuk tujuan kepastian hukum terlihat dalam rumusan huruf d.  Pengelompokan ini tidak berlaku mutlak, oleh karena seperti yang dapat di lihat dalam rumusan pada huruf a samapai huruf f terdapat tujuan yang dapat dikualifuikasikan sebagai tujuan ganda.
Kesulitan memenuhi ketiga tujuan hukum (umum) sekaligus sebagaimana dikemukakan sebelumnya, menjadikan sejumlah tujuan khusus dalam huruf a sampai huruf f dari Pasal 3 tersebut hanya dapat tercapai secara maksimal apabila didukung oleh keseluruhan subsistem perlindungan yang diatur dalam undang-undang ini, tanpa mengabaikan fasilitas penunjang dan kondisi masyarakat. Unsur masyarakat sebagaimana dikemukakan berhubungan dengan persoalan kesadaran hukum dan ketaatan hukum, yang seterusnya menentukan efektivitas Undang-Undang Perlindungan Konsumen, sebagaimana dikemuikakan oleh Achmad Ali bahwa kesadaran hukum, ketaatan hukum, dan efektivitas perundang-undangan adalah tiga unsur yang saling berhubungan.[17]


[

Tidak ada komentar: