Sabtu, 19 September 2015

Pengertian Usaha Pengangkutan/Ekspedisi (Hukum, Judul Hukum, Konsultasi Skripsi, SKRIPSI, Usaha Pengangkutan, Ekspedisi)

Pengangkutan merupakan salah satu kegiatan yang berfungsi untuk memindahkan barang atau orang dari satu tempat ke tempat lain dengan maksud untuk meningkatkan daya guna dan nilai. Dengan demikian kewajiban utama dalam pengangkutan adalah :
a.    Menyelenggarakan pengangkutan dengan sebaik-baiknya dan secepat-cepatnya dari tempat pemberangkatan sampai ke tempat tujuan.
b.    Mengusahakan supaya barang-barang yang diangkut tetap dalam keadaan utuh tidak berkurang untuk diserahkan kepada pihak yang dituju.
Pengangkutan dapat diartikan sebagai pemindahan barang dan orang dar tempat asal ke tempat tujuan. Dalam hal ini yang terkait dengan unsur-unsur pengangkutan sebagai berikut :
a.    Ada sesuatu yang diangkut
b.    Tersedianya kendaraan sebaga alat angkut
c.    Ada tempat yang dapat di lalui alat angkut
Menurut H.M.N. Purwosutjipto, pengangkutan adalah perjanjian timbale balik antara pengangkut dengan pengirim barang, dimana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar biaya angkutan sesuai dengan kesepakatan para pihak.[1]
Pihak-pihak dalam perjanjian pengangkutan adalah pengangkut dan pengirim. Perjanjian pengangkutan bersifat timbal balik, artinya kedua belah pihak mempunyai hak dan kewajiban masing-masing. Kewajiban pihak pengangkut adalah menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang ke tempat tujuan dengan selamat. Sebaliknya, sebagai pihak pengirim barang berkewajiban untuk membayar ongkos angkutan yang telah disepakati. Hal ini yang kemudian menjadi hak pihak pengangkut. Sedangkan hak pengirim adalah menerima barang yang dikirim dalam keadaan utuh. Apabila pihak pengangkut tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana mestinya, maka ia harus bertanggung jawab, artinya pihak pengangkut harus memikul semua akibat yang timbul dari perbuatan penyelenggaraan pengangkutan baik karena kesengajaan ataupun kelalaian pihak pengangkut sendiri.[2]
Bentuk nyata dari tanggung jawab seorang pengangkut yaitu dengan memberikan ganti rugi atas biaya dan kerugian yang diderita oleh pihak pengirim. Namun, hal tersebut tidak berlaku mutlak. Ada beberapa batasan-batasan dalam pemberian ganti rugi tersebut, antara lain :
1.        Kerugian itu merupakan kerugian yang dapat diperkirakan secara layak pada saat timbulnya kerugian.
2.        Kerugian itu harus merupakan akibat yang langsung dari tidak terlaksananya perbuatan dari perjanjian pengangkutan.
Dalam perjanjian pengangkutan juga terdapat hal-hal yang bukan menjadi tanggung jawab pihak pengangkut. Artinya, apabila timbul kerugian, maka pihak pengangkut bebas dari pembayaran ganti rugi. Beberapa hal yang tidak menjadi tanggung jawab pengangkut adalah :
1.        Keadaan memaksa (Overmacht);
2.        Cacat pada barang atau penumpang itu sendiri;
3.        Kesalahan atau kelalaian pengirim atau ekspeditur;
4.        Keterlambatan datangnya barang ditempat tujuan, yang disebabkan
5.        karena keadaan memaksa; dalam hal ini barang tidak rusak atau musnah.
Menurut Saefullah Wiradipradja, ada tiga macam prinsip tanggung jawab pengangkut dalam hukum pengangkutan[3];
1.        Prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan;
2.        Prinsip tanggung jawab berdasarkan praduga;
3.        Prinsip tanggung jawab mutlak.
Ekspeditur mempunyai hubungan yang sangat erat baik dengan pengirim, pengangkut, maupun penerima, walaupun ia bukan sebagai pihak dalam perjanjian pengangkutan. Mengenai kedudukan ekspeditur diatur dalam bagian II title V Buku I pasal 86 sampai 90 KUHD. Pengertian ekspeditur terdapat dalam pasal 86 ayat (1) KUHD, yaitu : “ekspeditur adalah seseorang yang pekerjaannya menyuruh orang lain untuk menyelenggarakan pengangkutan barang-barang dagangan dan barang-barang lain di darat atau di perairan”.
Ekspeditur mempunyai tugas yang berbeda dengan seorang pengangkut. Ekspeditur hanya bertugas mencarikan pengangkut yang baik bagi pihak pengirim yang akan mengirimkan barangnya, dan tidak mengadakan pengangkutan sendiri. Dalam hal ini ekspeditur berfungsi sebagai “perantara” dalam perjanjian pengangkutan. Ekspeditur mempunyai perjanjian tersendiri dengan pihak pengirim, yang disebut dengan perjanjian ekspedisi. Perjanjian ekspedisi merupakan perjanjian timbal balik antara ekspeditur yang mengikatkan diri untuk mencarikan pengangkut bagi pihak pengirim dengan pihak pengirim yang mengikatkan diri untuk membayar provisi kepada ekspeditur. Perjanjian ekspedisi memiliki sifat hukum “pelayanan berkala” (pasal 1606 KUHPer) dan “pemberian kuasa” (pasal 1792 KUHPer).
Pasal 1601 KUHPer menyebutkan : “Selain perjanjian-perjanjian untuk melakukan sementara jasa-jasa, yang diatur oleh ketentuan-ketentuan yang khusus untuk itu dan oleh syaratsyarat yang diperjanjikan, dan jika itu tidak, oleh kebiasaan, maka adalah dua macam perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk melakukan pekerjaan bagi pihak yang lainnya dengan menerima upah; perjanjian perburuhan dan pemborongan pekerjaan.” Pernyataan diatas menyatakan bahwa sifat hukum “pelayanan berkala” ada dalam perjanjian ekspedisi karena hubungan ekspeditur dan pengirim tidak tetap, yakni ketika pengirim membutuhkan pengangkut untuk mengirim barangnya melalui ekspeditur. [4]
Pasal 1792 KUHPer menyatakan : “Pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan”. Sifat “pemberian kuasa” ini ada karena pengirim memberikan kuasa kepada ekspeditur untuk mencarikan pengangkut bagi pihak pengirim. Hal ini terjadi apabila ekspeditur dalam mengadakan perjanjian pengangkutan bertindak atas nama pengirim.
Biasanya ekspeditur dalam menjalankan tugasnya untuk mencarikan pengangkut bertindak atas namanya sendiri, walaupun untuk kepentingan pihak pengirim. Pasal 455 KUHD menyatakan : “Barang siapa membuat perjanjian carter kapal untuk orang lain, terikatlah dia untuk diri sendiri terhadap pihak lawannya, kecuali apabila pada waktu membuat perjanjian tersebut dia bertindak dalam batas-batas kuasanya dan menyebutkan nama si pemberi kuasa yang bersangkutan”. Kedudukan ekspeditur disini sama dengan komisioner, yang biasa bertindak atas nama diri sendiri (pasal 76 KUHD).
Apabila ia bertindak atas nama sendiri, maka yang berhak mengajukan gugatan adalah pihak ekspeditur itu sendiri. Sebaliknya, apabila ekspeditur dalam menjalankan tugasnya menggunakan nama pihak pengirim, maka pihak pengirim dapat langsung mengajukan gugatan terhadap pihak pengangkut.
Seorang ekspeditur memiliki tanggung jawab terhadap barang-barang yang telah diserahkan oleh pengirim kepadanya dalam kegiatan pengiriman barang seperti yang disebutkan dalam pasal 87 KUHD, yaitu :
1.        Menyelenggarakan pengiriman secepat-cepatnya dan dengan rapi pada barang-barang yang telah diterimanya dari pengirim;
2.        Mengindahkan segala upaya untuk menjamin keselamatan barang-barang tersebut.
Menurut pasal 87 KUHD, tanggung jawab ekspeditur hanya sampai saat barang-barang yang akan dikirim tersebut telah diterima oleh pengangkut. Namun, ekspeditur juga memiliki tanggung jawab terhadap barang-barang yang telah dikirim. Pasal 88 KUHD menyatakan bahwa : “ia (ekspeditur) juga harus menanggung kerusakan atau kehilanganbarang-barang dagangan dan barang-barang sesudah pengirimannya dibebankan oleh kesalahan atau keteledorannya”.[5]
Jadi, apabila barang-barang yang telah dikirim mengalami kerusakan, dan dapat dibuktikan terdapat kesalahan atau kelalaian pihak ekspeditur ketika barang masih berada pada pihak ekspeditur, maka pihak ekspeditur dapat dituntut untuk mengganti kerugian yang terjadi. Pihak ekspeditur juga telah bekerjasama dengan perusahaan asuransi untuk memberikan ganti rugi apabila terjadi kerugian seperti kerusakan barang baik seluruh atau sebagian dan kehilangan pada barang yang akan dikirim. Asuransi ini sangat penting karena akan terjadi pengalihan risiko dari pihak penyedia jasa kepada pihak asuransi. Berhubungan dengan tanggung jawab ekspeditur tersebut, ada baiknya jika ekspeditur melakukan pendaftaran dan mencatat tentang jenis dan banyaknya barang-barang yang diterima untuk diangkut serta harga barang tersebut dalam suatu daftar harian (jurnal) seperti yang disebutkan dalam pasal 86 ayat (2) KUHD.[6]



Tidak ada komentar: