Rabu, 01 Oktober 2014

Konsultasi Skripsi; Pasar Syariah

Dalam pandangan Islam pasar merupakan wahana transaksi ekonomi yang ideal. tetapi memiliki berbagai kelemahan yang tidak cukup memadahi pencapai ekonomi yang Islami. Secara teoritik maupun praktikal pasar memiliki beberapa kelemahan, misalnya: mengabaikan distribusi pendapatan dan keadilan, tidak selalu selarasnya antara prioritas individu dengan sosial atau antara berbagai kebutuhan, adanya kegagalan pasar, ketidaksempurnaan persaingan, dan lain-lain. Oleh karenanya, kita harus menerapkan pasar secara proposional dalam perekonomian dan kemudian memperbaiki dan melengkapi kekurangan-kekurangannya. (Anto, 2003)
Ajaran Islam berusaha untuk menciptakan suatu keadaan pasar yang dibingkai oleh nilai-nilai syariah, meskipun tetap dalam suasana yang bersaing. Dengan kata lain konsep Islam tentang pasar yang ideal adalah perfect competition market plus, yaitu plus nilai-nilai syariah Islam. Implementasi nilai-nilai syariah  yang sebagainya merupakan concern masyarakat di luar Islam sekalipun (misalnya keadilan, keterbukaan, kejujuran, bersaing sehat) – bukan hanya menjadi kewajiban individu dalam pelaku pasar, tetapi juga butuh intervensi pemerintah. Untuk inilah maka pemerintah memiliki peranan yang penting dan besar dalam menciptakan pasar yang Islami, sebagaimana telah ditunjukkan oleh adanya Al Hisbah pada masa Rasulullah dan sesudahnya.
Dalam kapitalisme pasar dianggap sebagai mekanisme yang dapat menyelesaikan semua persoalan ekonomi. Pertanyaan-partanyaan inti dalam perekonomian, yaitu apa yang harus diproduksi (what), bagaimana cara memproduksi (how) dan untuk siapa (for whom) barang dan jasa diproduksi dianggap dapat dijawab dengan baik oleh pasar. Dalam konsep dasarnya pasar tidak boleh diganggu atau diintervensi oleh siapapun, termasuk oleh pemerintah. Dengan kekuatan invisible hand-nya, pasar secara otomatis akan menjawab dan mengatur semua persoalan ekonomis dengan harmonis.
Sosialisme berpandangan sebaliknya, yaitu peranan pasar harus di tiadakan. Sebagai gantinya maka pemerintah harus berperan aktif dalam menyelesaikan dan mengatur seluruh persoalan perekonomian. Pertanyaan what, how, dan for whom akan dijawab dengan kebijakan pemerintah, bukan oleh pelaku pasar swasta. Pemerintah harus merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi sendiri seluruh kebijakan ekonomi. Tidak ada tempat bagi pasar, sebab ia hanya akan menjadi alat bagi pemilik modal (borjuasi) untuk mengekploitasikan para buruh. Pasar hanya akan mengalokasikan sumber daya ekonomi pada sektor-sektor yang memberikan rente ekonomi (economic rent) besar bagi para pemilik modal ini, bukan pada kemakmuran seluruh masyarakat (Anto, 2003).
Islam sangat menghargai posisi pasar sebagai wahana alokasi dan distribuĂ­s sumber daya ekonomi. Tetapi, dalam ajaran Islam pasar ditempatkan pada posisi yang proposional, berbeda dengan pandangan kapitalisme maupun sosialisme yang ekstrim. Pandangan Islam ini secara garis besar adalah(Anto, 2003):
(1)   Pasar memiliki kelebihan sekaligus kekurangan. Dengan kata lain, mekanisme pasar tidak dianggap sebagai sesuatu yang telah sempurna atau baku sehingga tidak perlu ada intervensi dan rekayasa apapun (taken for granted). Intervensi seperlunya diperlukan agar mekanisme pasar berjalan sesuai dengan kepentingan perekonomian yang Islami. Jadi pasar bebas yang Islami tidak berarti bebas sebebas-bebasnya
(2)   Pasar tidak ditempatkan sebagai satu-satunya mekanisme distribuĂ­s yang utama dalam perekonomian, tetapi hanya merupakan salah satu dari berbagai mekanisme yang diajarkan dalam syariah Islam, Karenanya, perekonomian yang Islami akan mengkombinasikan pendekatan pasar dengan non pasar.
Ajaran Islam sangat menghargai pasar sebagai tempat perniagaan yang halal (sah/legal) dan toyyib (baik), sehingga secara umum merupakan mekanisme perniagaan yang paling ideal.
Penghargaan yang tinggi ini tidak hanya bersifat normatif, tetapi juga telah dibuktikan dalam sejarah yang panjang kehidupan ekonomi masyarakat muslim klasik. Rasulullah s.a.w sendiri adalah seorang pelaku pasar yang aktif, demikian juga kebanyakan sahabat dan Khulafaurrausydin. Pada masa Rasullulah dan Khulafaurrausydin, peranan pasar dalam menentukan harga sangat menonjol. Intervensi pemerintah dalam pasar hanya dilakukan dalam kondisi-kondisi tertentu, tetapi sangat jarana dilakukan.
Penghargaan ajaran Islam terhadap mekanisme pasar berangkat dari ketentuan Allah bahwa perniagaan harus dilakukan secara baik dengan rasa suka sama suka (antaradim minkum/mutual goodwil). Dalam Al Qur’an dinyatakan : “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah Maha Penyayang kapadamu” (An Nisa 29). Mekanisme pasar merupakan mekanisme perniagaan yang paling ideal menghasilkan transaksi yang baik dan didasarkan oleh mutual goodwill di antara pelaku-pelakunya, yaitu penjual dan pembeli. Pasar juga suatu kekuatan yang bersifat massal (impersonal) dan alamiah (natural) sehingga mencerminkan kondisi ekonomi masyarakat lebih luas. Dalam situasi yang bersaing sempurna (perfect competition market), taka da seorang pelakupun yang secara individual dapat mengemudikan mekanisme pasar. Allah-lah yang mengatur naik turunnya harga. Dengan dasar ini maka tidaklah mengherankan kalau Rasulullah sangat menentang praktek-praktek yang dapat menggangu mekanisme pasar yang bebas.
Bagaimana gambaran pasar yang diidealkan oleh ajaran agama ? Jika dilihat pada masa kelahirannya (abad 6 M), ternyata ajaran Islam memiliki pandangan yang sangat futuristik, amat jauh mendahului pemikiran ekonom-ekonom Barat. Demikian pula pemikiran para sarjana muslim pada periode-periode pasca Rasulullah. Pada dasarnya, konsep pasar yang Islami adalah seperti apa yang dalam ekonomi konvesional disebut dengan pasar persaingan sempurna (perfect competition market) plus, yaitu persaingan dalam bingkai nilai dan moralitas Islam. Dengan kata lain pasar ini tidak mengandung deviasi dari nilai dan moralitas Islam. Jadi, jelas bukan pasar bebas dalam arti yang sebebas-bebasnya sebagaimana dalam kapitalisme.
Nilai dan moralitas Islam ini secara garis besar terbagi menjadi (Anto, 2003):
·         Norma yang bersifat khas, yaitu hanya menjadi concern agama Islam, dan
·         Norma yang bersifat umum, yaitu merupakan concern masyarakat luas.
Sebagaimana telah dijelaskan dalam perilaku konsumen dan produsen, ajaran Islam menganggap bahwa tidak semua barang dan jasa dapat dikonsumsi dan diproduksi. Seorang muslim hanya diperkenankan mengkonsumsi dan memproduksi barang yang halalan toyyiban dan mubah, sehingga yang haram dan makruh harus ditinggalkan. Ia juga terikat dengan nilai-nilai kesederhanaan dan konsistensi prioritas dalam pemenuhannya. Norma yang khas ajaran Islma ini tentu saja harus diimplementasikan di pasar.
Selain itu, syari’at Islam juga menjunjung tinggi norma-norma yang merupakan perhatian masyarakat di manapun dan memiliki agama apapun, jadi norma yang universal. Norma-norma ini antara lain : persaingan yang sehat (fair play), kejujuran (honesty), keterbukaan (transparancy) dan keadilan (justice). BAnyak ayat dalam Al Qur’an dan Hadist yang dengan jelas dan tegas menekankan nilai-nilai ini, dan bahkan mengkaitkannya dengan keimanan kepada Allah. Adanya keterikatan seorang muslim dengan norma-norma ini akan menjadi sistem pengendalian pribadi yang bersifat otomatis (inner built in control) bagi perilakunya dalam aktifitas pasar.
Dengan mengacu pada Al Qur’an dan praktek ekonomi pasar yang di jalankan Rasulullah s.a.w dan para sahabat, Ibnu Taimiyah menggambarkan dengan jelas konsep pasar yang Islami ini. Dalam kitabnya al Hisbah dan Majmu’ Fatawa-nya (Islahi, AA, 1997, h.117-119; Siddiqi, 1979, h.85) ia menyebutkan kriteria pasar yang Islami adalah :
¨  Orang-orang harus bebas untuk keluar dan masuk pasar. Persyaratan ini jelas dalam pernyataannya, “memaksa penduduk menjual barang-barang dagangan tanpa ada dasar kewajiban untuk menjual, merupakan tindakan yang tidak adil dan ketidakadilan itu dilarang”.
¨  Tingkat informasi yang cukup mengenai kekuatan-kekuatan pasar dan barang-barang dagangan adalah perlu. Ibnu Taimiyah telah meneliti beberapa kontrak (perjanjian) di mana salah satu pihak yang terlibat tidak bertindak sesuai dengan persyaratan ini, sementara ia memberikan kepada pihak lainnya desempatan untuk meninjau kembali kontrak itu. Dia juga mengangapnya sebagai tanggung jawab pemerintah (al muhtasib) untuk memperbaiki situasi tersebut, yaitu menjaga agar informasi secara sempurna diterima oleh para pelaku pasar.
¨  Unsur-unsur monopolistik harus di lenyapkan dari pasar. Karena itu, ia menentang segala bentuk kolusi antara orang-orang profesional atau kelompok para penjual dan pembeli. Dia membolehkan pemerintah untuk ikut campur tangan dan menentukan harga jika unsur monopolistik ini muncul.
¨  Dalam batas kebebasan ini, ia mengakui kenaikan dan penurunan permintaan maupun penawaran disebabkan oleh harga-harga tersebut. Dia menyetujui kenaikan harga-harga yang disebabkan olehnya, karena “memaksa orang untuk menjual barang dengan harga yang ditentukan sama dengan pemaksaan tanpa hak” dan meskipun si penjual seharusnya tidak dipaksa untuk kehilangan laba tetapi pada saat yang sama dia seharusnya tidak diperbolehkan merugikan orang lain.
¨  Homogenitas dan standardisasi produk Sangay dianjurkan waktu ia membahas celaan terhadap pemalsuan produk, penipuan dan kecurangan dalam mempresentasikan barang-barang tersebut.
¨  Setiap penyimpangan dari kebebasan ekonomi yang jujur, seperti sumpah palsu, penimbangan yang tidak tepat, dan niat buruk dikecam oleh banyak penulis muslim. Para pelaku pasar juga tidak diperkenankan memproduksi dan memperdagangkan barang-barang dagangan yang tercela karena tidak baik dari sisi alasan kesehatan atau moral sesuai dengan norma Islam, seperti minuman-minuman beralkohol, minuman keras, pelacuran dan penjudian.
Dengan memperhatikan kriteria di atas, jelaslah bahwa pasar yang Islami menurut Ibnu Taimiyah memiliki dua kriteria utama, yaitu: (1) secara teknis – operasional menjamin terjadinya persaingan yang sempurna, (2) persaingan yang sempurna tersebut bekerja dalam bingkai nilai dan moralitas Islam. Bahkan, untuk menjamin agar kriteria ini tetap terjaga Ibnu Taimiyah mengusulkan adanya petugas yang mengawasi pasar yang disebut al muhtashib atau secara kelembagaan dinamakan al hisbah. Al muhtashib memiliki peran aktif dan permanen dalam menjaga mekanisme pasar yang Islami ini sehingga banyak dijadikan model bagi peran pemerintah terhadap pasar.
Siddiqi (1992) juga mengingkari bahwa mekanisme pasar yang berjalan alamiah sudah memadai untuk mencapai tujuan kesejahteraan manusia. Ia mengatakan, “Islam tidak menampilkan filsafat seperti itu. Ia menuntut upaya-upaya sadar untuk meraih tujuan-tujuan yang diinginkan, dimana perlu dengan meramalkan kondisi persoalan-persoalan yang secara otomatik muncul. Ia menuntut pendistribusian kembali kekayaan dan menuntut pembentukan lembaga-lembaga tetap untuk melakukan pendistribusian kembali itu. Ia tidak pernah menganggap setiap setiap bentuk perdagangan, kontrak-kontrak dagang, pemanfaatan tanah-tanah dan usaha-usaha produktif sebagai hal yang sah hanya karena secara otomatis berwujud dan wajar. Bahkan, ia menuntut pengawasan secara cermat terhadap setiap kegiatan, dengan mengesampingkan semua bentuk yang bertentangan dengan kepentingan sosial dan membawa akibat-akibat yang tidak diinginkan.
Jogja, Yogyakarta

Tidak ada komentar: