Selasa, 10 Mei 2011

Judul Skripsi Ekonomi Manajemen: Blue Ocean Strategy (Strategi Samudra Biru)

Menurut  Chan Kim W. dan Renee Mauborgne (2008) dalam bukunya Blue Ocean Strategy (Strategi Samudra Biru), pasar dapat dibayangkan terdiri atas dua samudra: samudra merah dan samudra biru. Samudra merah merupakan semua industri yang ada saat ini. Ini adalah ruang pasar yang sudah dikenal. samudra biru menandakan industri-industri yang belum ada sekarang. Ini adalah ruang pasar yang tidak dikenal. Dalam samudra merah, batasan-batasan daram industri telah didefinisikan dan diterima, dan aruran-aturan persaingan sudah diketahui. Di sini, perusahaan berusaha mengalahkan lawan mereka demi mendapatkan pangsa permintaan yang lebih besar. Ketika ruang pasar semakin sesak, prospek akan laba dan pertumbuhan pun berkurang. produk menladi komoditas dan kompetisi jor-joran mengubah samudra merah menjadi samudra penuh darah.
Sebaliknya, samudra biru ditandai oleh ruang pasar yang belum terjelajahi, penciptaan permintaan, dan peluang pertumbuhan yang sangat menguntungkan. Meskipun sejumlah samudra biru diciptakan benar-benar di ruar industri yang sudah ada, kebanyakan dibuat dari dalam samudra merah dengan cara memperluas batasan-batasan industri yang sudah ada, sebagai mana dilakukan oleh cirque du soleil. Dalam samudra biru, kompetisi itu tidak relevan karena aruran-aturan permainan baru akan dibentuk. Tak dipungkiri bahwa berenang dengan sukses di samudra merah dengan cara mengalahkan pesaing akan selalu menjadi hal penting. Samudra merah akan selalu penting dan menjadi fakta dari dunia bisnis. Tetapi, dengan kondisi pasokan yang melebihi permintaan di sebagian besar industri, berkompetisi meraih pangsa dari pasar yang berkontraksi, meski perlu, tidak akan memadai untuk mendukung kinerja prima. Perusahaan perlu melampaui kompetisi. untuk meraih laba dan kesempatan pertumbuhan baru, perusahaan juga perlu menciptakan samudra biru.
Sayangnya, samudra biru sebagian besar belum terpetakan. Fokus dominan dari kerja strategis selama 25 tahun terakhir selalu pada strategi samudra merah yang berbasiskan kompetisi. Hasilnya adalah pemahaman yang cukup baik mengenai bagaimana bersaing dengan tangkas di perairan merah, murai dari menganalisis struktur ekonomi yang mendasari sebuah industri, memilih posisi biaya rendah arau diferensiasi atau fokus yang straregis, hingga melakukan perbandingan dengan pesaing (benchmarking) dalam kompetisi. Memand ada sejumlah pembahasan mengenai samudra biru. Namun, hanya ada sedikit panduan praktis mengenai bagaimana menciptakan samudra biru itu. Tanpa kerangka kerja analitis untuk menciptakan samudra biru dan prinsip-prinsip untuk mengelola risiko secara efektif, menciptakan samudra biru hanya menjadi impian semata yang dipandang oleh para manajer sebagai terlalu berisiko untuk dijadikan strategi.

A.    Penciptaan Tiada Henti Samudra Biru
Meskipun istilah samudra biru itu baru, eksistensi samudra itu tidaklah demikian adanya. samudra biru adalah bagian dari dunia bisnis, di masa kini dan masa silam. Mari menengok seratus tahun ke belakang dan bertanya: Berapa banyak idustri masa kini yang serarus tahun silam itu berum dikenal? Jawabannya: banyak industri dasar seperti industri mobil, rekaman musik, penerbangan, petrokimia, layanan kesehatan, dan konsultan manajemen yang belum pernah terdengar atau baru muncul pada saat itu. Kini, mari kita cukup menengok ke masa tiga puluh tahun yang silam. Kembali, bermunculan sekian ragam industri jutaan dolar-reksadana, telepon seluler, pembangkit listrik renaga gas, bioteknologi, toko rabar, pengiriman paket kilat, minivan, papan luncur, kedai kopi, dan video sewaan, untuk menyebut segelintir contoh. Hanya tiga dasawarsa lalu, tak satu pun dari industri-indusri ini yang eksis secara berarti.
Kini, mari kita maju dua puluh tahun-atau mungkin lima puluh tahun ke depan dan tanyai diri kita berapa banyak industri tak dikenal sekarang ini yang akan eksis di masa depan itu. Jika sejarah adalah landasan untuk meramalkan masa depan, jawaban pertanyaan ini adalah: banyak sekali. Realitasnya, industri tak pernah diam di tempat. Industri selalu berevolusi. Kegiatan operasional berkembang, pasar meiuas, dan pemain datang dan pergi. Sejarah mengajarkan bahwa kita memiliki kapasitas besar-yang selama ini kita remehkan-untuk menciptakan industri-industri baru dan menciptakan ulang industri-industri yang sudah ada. Sebenatnya, system Standard Industrial Classification (SIC) berusia 50 tahun yang dikeluarkan oleh US Census telah digantikan pada 1'997 oleh sistem North America Industry Classification Standard. Sistem baru ini mengembangkan sepuluh sektor industri SIC menjadi dua puluh untuk menggambarkan realitas teritori-teritori baru vang bermunculan.s Sektor jasa di sistem lama, misalnya, kini diperluas menjadi tujuh sektor bisnis, mulai dari informasi hingga layanan kesehatan hingga bantuan sosial. Karena system-sistem ini dirancang demi standardisasi dan kesinambungan, penggantian sistem semacam itu menunjukkan betapa signifikannya ekspansi samudra biru yang sudah berlangsung.
Tetapi, pemikiran strategis selama ini lebih difokuskan pada strategi samudra merah yang berbasiskan-kompetisi. Sebagian alasannya adalah bahwa strategi korporat sangat dipengaruhi oleh akarnya dalam strategi militer. Bahasa strategi sangat dipenuhi oleh referensi-referensi militer-chief executiue " officers (perwira/petugas)" dt "headquarter (markas/kantor pusar)," "armada" di "lini depan". Jika digambarkan dengan cara ini, strategi adalah mengenai bagaimana melawan musuh dan bertempur memperebutkan sepetak tanah yang terbatas dan berjumlah tetap. Tetapi, tidak seperti perang, sejarah industri rnenunjukkan bahwa pasar tidak pernah konstan atau tetap. Sebaliknya, sepanjang waktu terlihat bermunculan samudra biru secara terus-menerus. Karena itu, berfokus pada samudra merah sama dengan menerima faktor-faktor penghambat utama dalam perang daerah yang terbatas dan perlunya mengalahkan musuh untuk bisa berhasil-dan sama dengan menolak kelebihan khas dari dunia bisnis: kemampuan untuk menciptakan ruang pasar baru yang belum ada pesaingnya.

B.     Dampak Penciptaan Samudra Biru
Dalam sebuah studi tentang inisiatif bisnis di 108 perusahaan, kami berusaha mengukur secara kuantitatif dampak penciptaan samudra biru terhadap pertumbuhan pemasukan dan laba perusahaan. Kim (2008) menemukan bahwa 86 persen dari inisiatif itu adalah ekstensi atau perluasan lini, yaitu perbaikan besar dalam samudra merah ruang pasar yang sudah ada. Tetapi, inisiatif itu hanya mewakili 62 persen pemasukan total dan 39 persen laba total. Sedangkan sisa 14 persennya adalah inisiatif-inisiatif yang bertujuan menciptakan samudra biru. Inisiatif ini menghasilkan 38 persen pemasukan total dan 61 persen laba total. Karena inisiatif-inisiatif bisnis mencakup investasi total untuk menciptakan samudra merah dan biru terlepas dari akibat inisiatif-inisiatif itu terhadap pemasukan dan laba, termasuk akibat berupa kegagalan), manfaat dari menciptakan perairan biru tampak jelas. Meskipun kita tidak memiliki data mengenai tingkat keberhasilan inisiatif-inisiatif samudra merah dan biru, perbedaan kinerja di antara inisiatif-inisiatif itu di tingkat global cukup nyata.


C.    lnovasi Nilai: Batu Pijak Strategi Samudra Biru
Hal yang secara konsisten membedakan pemenang dari pecundang dalam menciptakan samudra biru adalah pendekatan :nereka atas strategi. Perusahaan yang terperangkap dalam samudra merah mengikuti pendekatan konvensional, yakni berlomba memenangi kompetisi dengan membangun posisi kokoh dalam tatanan industri yang ada.16 Kreator dari samudra biru, secara mengejutkan, tidak menggunakan kompetisi sebagai patokan mereka. Sebaliknya, mereka mengikuti logika stfategis berbeda yang kami sebut inovasi nilai.Inovasi nilai merupakan batu-pijak dari strategi samudra biru.
Kim (2008) menyebutnya inovasi nilai karena alih-alih berfokus pada memenangi kompetisi, lebih berfokus menjadikan kompetisi itu tidak relevan dengan menciptakan lompatan nilai bagi pembeli dan perusahaan. Dengan demikian, kita sekaligus membuka ruang pasar yang baru dan tanpa pesaing. Inovasi nilai memberikan penekanan setara pada nilai dan inovasi. Nilai tanpa inovasi cenderung berfokus pada penciptaan nilai dalam skala besar, sesuatu yang meningkatkan nilai tapi tidak memadai untuk membuat kita unggul secara menonjol di pasar. lnovasi tanpa nilai cenderung bersifat mengandalkan teknologi, pelopor pasar, atau futuristis, dan sering membidik sesuatu yang belum siap diterima dan dikonsumsi oleh pembeli. Dalam pengertian ini, penting untuk membedakan antara inovasi nilai, inovasi teknologi, dan usaha menjadi pelopor pasar. Studi Kim (2008) menunjukkan bahwa yang memisahkan pemenang dan pecundang dalam menciptakan samudra biru bukanlah teknologi super canggih maupun "waktu yang tepat untuk memasuki pasar." Terkadang hal-hal itu diperlukan, tapi seringnya tidak. Inovasi nilai terjadi hanya ketika perusahaan memadukan inovasi dengan utilitas (manfaat), harga, dan posisi biaya. Jika mereka gagal memadukan inovasi dan nilai dengan cara ini, para inovator teknologi dan pelopor pasar sering hanya memberikan telor yang akan ditetaskan oleh perusahaan-perusahaan lain.
Inovasi nilai merupakan cara baru untuk memikirkan dan melaksanakan strategi yang mengarah pada penciptaan samudra biru dan ditinggalkannya kompetisi. Yang penting, inovasi nilai menolak salah satu dari dogma yang paling umum diterima dalam strategi berbasiskan-kompetisi, dilema/pertukaran (trade off nilai-biaya). Secara umum, diyakini bahwa perusahaan hanya bisa antara menciptakan nilai lebih tinggi bagi pelanggan dengan biaya tinggi atau menciptakan nilai limayan dengan biaya lebih rendah' Di sini, strategi dilihat sebagai membuat pilihan antara diferensiasi dan biaya rendah. Sebaliknya, perusahaan yang berusaha menciptakan samudra biru mengejar diferensiasi dan biaya rendah secara bersamaan.

Gambar 1.-2 menggambarkan dinamika diferensiasi-biaya rendah yang mendasari inovasi nilai.
Sebagaimana ditunjukkan dalam gambar di atas, penciptaan samudra biru adalah soal menekan biaya sembari meningkatkan nilai bagi pembeli. Beginilah bagaimana lompatan nilai bagi perusahaan dan pembeli dicapai. Karena nilai pembeli berasal dari utilitas (manfaat) dan harga yang ditawarkan perusahaan kepada pembeli, dan karena nilai bagi perusahaan itu dihasilkan dari harga dan struktur biaya, maka inovasi nilai tercapai hanya ketika keseluruhan sistem kegiatan utilitas, harga. dan biaya perusahaan terpadu dengan tepat. Pendekatan keseluruhan sistem inilah yang menjadikan penciptaan samudra biru sebagai sebuah strategi berkesinambungan (sustainable).
Strategi samudra biru mengintegrasikan kegiatan-kegiatan fungsional dan operasional perusahaan. Sebaliknya, inovasi seperti inovasi produksi bisa dilakukan pada level subsistem tanpa memengaruhi keseluruhan strategi perusahaan. Sebuah inovasi dalam proses produksi, misalnya, bisa menurunkan struktur biaya perusahaan untuk memperkuat strategi-kepemimpinan-biaya yang telah ada tanpa mengubah proporsi utilitas dalam penawarannya. Meskipun inovasi semacam ini bisa membantu mempertahankan dan bahkan meringkatkan posisi perusahaan dalam ruang pasar yang ada, pendekatan subsistem yang demikian jarang menciptakan samudra biru berupa ruang pasar baru.
Dalam pengertian ini, inovasi nilai adalah lebih dari sekedar inovasi. Inovasi nilai adalah soal strategi yang merangkul seluruh sistem kegiatan perusahaan. Inovasi nilai menuntut perusahaan untuk mengarahkan seluruh sistem pada tujuan mencapai lompatan dalam nilai bagi pembeli dan bagi perusahaan itu sendiri. Tanpa pendekatan integral semacam ini, inovasi akan selalu terpisah dari inti strategi. Tabel berikut membeberkan ciri-ciri khas utama dari strategi samudra biru dan samudra merah.

Strategi samudra merah yang berbasiskan kompetisi mengasumsikan bahwa kondisi-kondisi struktural itu terberi dan bahwa perusahaan dipaksa untuk berkompetisi dalam kondisikondisi itu, sebuah asumsi yang didasarkan pada apa yang disebut akademisi sebagai pandangan strukturalis, arau determinisme lingkungan. Sebaliknya, inovasi nilai didasarkan pada pandangan bahwa batasan-batasan pasar dan struktur industri tidaklah terberi dan bisa direkonstruksi melalui tindakan dan keyakinan pelaku industri. Kami menyebut ini sebagai pandangan rekonstruksionis. Dalam samudra merah, diferensiasi menelan biaya besar karena perusahaan berkompetisi berdasarkan aturan praktik sukses yang sama. Dalam samudra biru, pilihan strategis bagi perusahaan adalah mengejar baik diferensiasi maupun biaya rendah. Di sisi lain, dalam pandangan rekonstruksionis, tujuan strategi adalah menciptakan aturan-aturan praktik sukses baru dengan mendobrak dilema/pertukaran nilai-biaya yang ada dan, dengan demikian, menciptakan samudra biru.

D.    Merumuskan dan Menerapkan Strategi Samudra Biru
Meskipun kondisi-kondisi ekonomi menunjukkan bahwa tuntutan akan samudra biru semakin meningkat, ada keyakinan umum bahwa perusahaan yang mencoba bergerak melampaui ruang industri yang sudah ada akan memiliki peluang sukses lebih kecil. Bagaimana perusahaan bisa secara sistematis memaksimalkan kesempatan dan, pada saat yang bersamaan) meminimalkan risiko dari merumuskan dan menerapkan strategi samudra biru? Jika kita tidak memiliki pemahaman tentang prinsip-prinsip memaksimalkan kesempatan dan meminimalkan resiko yang mendorong penciptaan samudra biru, hambatan bagi inisiatif samudra biru akan lebih besar.
Tentu saja, setiap strategi pasti berisiko. Strategi selalu melibatkan peluang dan risiko, baik itu inisiatif samudra biru ataupun samudra merah. Tetapi, saat ini, medan permainan sangat tidak seimbang, dengan kecenderungan lebih berat pada alat dan kerangka kerja analitis untuk berhasil dalam samudra merah. Selama hal ini terus berlangsung, samudra merah akan kerap mendominasi agenda strategis perusahaan, meskipun tuntutan bisnis untuk menciptakan samudra biru kian mendesak. Mungkin, hal ini menjelaskan kenapa meski ada seruan-seruan belumnya kepada perusahaan untuk melangkah melampaui ruang industri yang ada, perusahaan belum menindaklanjuti rekomendasi-rekomendasi ini secara serius.
Strategi samudra biru melambangkan langkah menjauh dari status quo, Tabel berikut menunjukkan enam prinsip yang mendorong kesuksesan penerapan dan pelaksanaan strategi samudra biru beserta risiko-risiko yang ditangani oleh prinsip-prinsip tersebut.




Senin, 02 Mei 2011

OBESITAS PADA ANAK

 
              Di seluruh dunia prevalensi kelebihan berat badan, overweight dan obesitas meningkat  tajam dan telah mencapai tingkatan yang membahayakan. Di negara maju seperti negara-negara Eropa,USA dan Australia  kejadian obesitas justru  telah mencapai tingkatan epidemi (Hadi, 2004). Indonesia dihadapkan beban ganda masalah gizi  (double burden of malnutrition)  di satu pihak masalah gizi kurang dan buruk belum tuntas, di lain pihak masalah kegemukan dan obesitas  muncul dan terus bertambah. Kedua-duanya berdampak negatif yaitu menurunkan kualitas sumber daya manusia  (SDM) dan membebani ekonomi Bangsa (Hadi, 2007)   
         Di Indonesia berdasarkan data  riset kesehatan dasar (RISKESDAS  2007) dan World health organization  (WHO,  2005) diketahui bahwa laki-laki berumur lebih dari  15 tahun dengan lingkar perut di atas 90 cm atau perempuan dengan lingkar perut  di atas 80 cm dinyatakan sebagai obesitas sentral. Sedangkan prevalensi obesitas sentral pada perempuan sebanyak 29% yang lebih tinggi dibanding laki-laki yaitu 7,7%. Menurut tipe daerah, obesitas sentral lebih tinggi di daerah perkotaan yaitu 23,6% dibandingkan daerah perdesaan yaitu 15,7%. Demikian juga semakin meningkat tingkat pengeluaran rumah tangga per kapita per bulan, semakin tinggi prevalensi obesitas sentral.
           Obesitas pada anak dapat terjadi, oleh karena itu harus sedini mungkin dicegah. Obesitas pada anak akan beresiko menjadi obesitas  di masa dewasa sekitar  30-60% (Mafies.et al. 2000). Konsekuensi kelebihan berat badan pada anak juga menyangkut kesulitan-kesulitan dalam psikososial, seperti diskriminasi dari teman-temannya, self-image negatif, depresi, dan penurunan sosialisasi (Dietz dan gortmaker, 2001). Huriyati (2006) yang mengikuti perkembangan anak SD hingga SMP selama 2 tahun menemukan  bahwa perubahan status obesitas pada siswa-siswi tersebut menjadi non obesitas sangat kecil. Hal ini juga yang mendasari perlunya penelitian  obesitas anak sekolah, karena pada usia tersebut masih mudah diatasi sedangkan pada remaja akan lebih sulit.
Obesitas pada anak tidak dapat dicegah dengan baik tanpa pengetahuan dan persepsi yang baik dari orang tua  (Baughcum, 2000). Persepsi ibu dibutuhkan karena  ibu  adalah orang yang paling dekat mendidik anak. Ibu sebagai pendidik anak bertanggungjawab agar anak-anak dibekali kekuatan rohani maupun jasmani dalam menghadapi segala tantangan zaman dan menjadi manusia yang berguna bagi nusa dan bangsa. Demikian pula peran ibu guru  begitu penting dalam mendidik anak murid ketika berada di sekolah, karena kebersamaan murid SD dan guru di sekolah dengan di rumah  hampir sama waktunya (Pertanta, 2007). Persepsi ibu semakin dibutuhkan dengan adanya data dari  artikel Indosiar.com yang mengatakan  bahwa, rata-rata  ibu mempunyai kecenderungan obesitas, wanita memiliki lemak tubuh yang banyak dibandingkan dengan pria. Perbandingan  normal antara lemak tubuh dengan berat badan adalah sekitar 25-30% pada wanita dan 18-23% pada pria. Karena wanita mempunyai  lemak tubuh lebih dari 30% dan pria dengan lemak tubuh lebih dari 25% dianggap mengalami obesitas atau dengan kata lain seseorang yang memiliki berat badannya diatas normal, dinggap mengalami obesitas (www.Indosiar.com, diakses pada tanggal 6 November 2009).
         Penelitian  tentang persepsi orang tua terhadap berat badan anak di Atlanta didapatkan hasil bahwa satu dari tiga ibu yang memiliki anak obes   mempunyai persepsi yang salah terhadap obesitas anak dengan menganggap bahwa anaknya lebih kurus dari berat badan sebenarnya (Maynar. 2003). Menurut penelitian di Cincinnati, Ohio ibu dengan tingkat pendidikan rendah mempunyai persepsi yang salah terhadap berat badan anak atau ibu tidak menyadari kalau anaknya sebenarnya mengalami obesitas  (Baughcum, 1999).  
              Persepsi adalah gambaran subyektif internal seseorang  tentang suatu hal. Pesepsi merupakan suatu proses yang didahului dengan pengindraan, yaitu merupakan proses yang berwujud diterimanya stumulus oleh individu melalui alat serertipenya secara terus menerus dan terjadilah proses psikologis (Walgito, 2004). Persepsi ibu merupakan prediktor yang kuat bagi obesitas anak karena  persepsi sangat mempengaruhi perilaku makan dan aktifitas fisik  yang merupakan manifestasi pola pikir seseorang terhadap arti dan fungsi makan, makanan dan aktifitas fisik (Subarja, 2004). Sugih (2009) mengemukakan bahwa berat badan dipengaruhi perilaku makan dan aktifitas fisik (eating and physical activity behavior).

Kamis, 24 Maret 2011

Karakteristik dan Potensi Lahan Pasang Surut

Peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan agro-industri menuntut peningkatan produksi pertanian yang semakin tinggi setiap tahunnya, padahal lahan-lahan subur semakin menyusut untuk berbagai keperluan pembangunan non-pertanian. Dewasa ini diperkirakan 35.000-40.000 ha lahan subur setiap tahunnya beralih fungsi menjadi wilayah pemukiman, jalan raya, dan industri (Litbang Pertanian, 1992). Karena itu untuk mengembangkan usaha pertanian perlu diarahkan kepada lahan-lahan marginal di luar Jawa yang dikaitkan dengan program transmigrasi dan peningkatan kesempatan kerja.
Lahan pasang surut tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya meliputi areal seluas 24,8 juta ha, dan sekitar 9 juta ha diantaranya prospektif dikembangkan untuk pertanian (Litbang Pertanian, 1995). Meskipun disadari bahwa lahan pasang surut ini mempunyai berbagai kendala, baik agro-fisik, biologis, maupun sosial ekonomi sehingga pemanfaatannya harus dilakukan secara hati-hati dengan pendekatan konservasi dan pemahaman akan faktor-faktor sosial ekonomi seperti ketersediaan tenaga kerja, pemasaran, dan keterpencilan lokasi.
Menurut Widjaja Adhi et al (1992), lahan pasang surut merupakan lahan marginal dan rapuh yang pemanfaatannya memerlukan perencanaan dan penanganan yang cermat. Kekeliruan di dalam membuka lahan ini akan membutuhkan investasi besar dan sulit untuk mengembalikannya seperti keadaan semula. Karena itu, pengembangan lahan pasang surut memerlukan perencanaan yang teliti, penerapan teknologi yang sesuai, dan pengelolaan yang tepat.
Menurut Widjaja Adhi et.al (1992), faktor penting yang perlu dipertimbangkan di dalam pengembangan dan pengelolaan lahan pasang surut diantaranya adalah :
1. Lama dan kedalaman air banjir atau air pasang serta kualitas airnya;
2. Ketebalan, kandungan hara, dan kematangan gambut;
3. Kedalaman lapisan pirit dan kemasaman total potensial dan aktual setiap lapisan tanahnya;
4. Pengaruh luapan atau intrusi air asin/payau; dan
5. Tinggi muka air tanah dan keadaan substratum lahan, apakah endapan sungai, laut, atau pasir kuarsa.
Menurut Litbang Pertanian (1993) macam dan tingkat kendala yang diperkirakan dapat ditimbulkan oleh faktor-faktor di atas digunakan dalam menyusun tipologi lahan pasang surut yang dikelompokkan kedalam 4 tipologi utama, yaitu:
1. Lahan potensial; yaitu lahan nnnnnyang memiliki kendala teknis agronomis yang paling ringan, jika dibandingkan dengan lahan lainnya. Karakteristik lahan potensial adalah tekstur liat, lapisan pirit berada pada kedalaman lebih dari 50 cm dari permukaan tanah, kandungan N dan P tersedia rendah, derajat keasaman (pH) 3,5 - 5,5 ; serta kandungan pasir kurang dari 5% dan debu 20%.
2. Lahan sulfat masam; dicirikan oleh kandungan senyawa sulfida tinggi dan lapisan pirit terletak pada kedalaman kurang dari 50 cm. Di lapang terdapat dua macam lahan sulfat masam, yaitu :
a. Lahan sulfat masam potensial; dicirikan oleh belum teroksidasinya lapisan pirit dan pH di atas 3,5;
b. Lahan sulfat masam aktual; dicirikan oleh telah teroksidasinya lapisan pirit, dan pH kurang dari 3,5. Kemasan tanah yang tinggi menyebabkan ketidakseimbangan hara, sehingga tanaman dapat mengalami kekahatan dan keracunan hara.
3. Lahan gambut; adalah lahan yang mempunyai lapisan gambut dengan berbagai ketebalan dan terbagi kedalam beberapa golongan yaitu :
- bergambut; ketebalannya kurang dari 50 cm,
- gambut dangkal; ketebalannya 50 - 100 cm,
- gambut sedang ; ketebalannya 100 - 200 cm,
- gambut dalam ; ketebalannya 200 - 300 cm, dan
- gambut sangat dalam, ketebalannya di atas 300 cm.
4. Lahan salin; merupakan lahan yang dipengaruhi oleh intrusi air bergaram sehingga mempunyai daya hantar listrik lebih dari 4 MS / cm, tetapi mengandung unsur Na dapat dipertukarkan kurang dari 15%. Pendekatan yang ditempuh untuk mengatasi salinitas ini adalah dengan mengurangi terjadinya intrusi air bergaram dan mengusahakan komoditas serta varietas yang toleran terhadap salinitas.
Berdasarkan tipologi lahan pasang surut komoditas padi sawah dapat tumbuh dengan baik pada tipologi lahan potensial yaitu pada tipe luapan A,B dan C dengan syarat lahan ditata dengan baik.(Widjaja-Adhi et al dalam Nunthe 1998 )

Biaya, Keuntungan dan Marjin Pemasaran Pertanian

Menurut Soekartawi (1993: 156) biaya pemasaran adalah biaya yang dikeluarkan untuk keperluan pemasaran. Biaya pemasaran meliputi biaya angkut, biaya pengeringan, penyusutan, retribusi dan lainnya. Besarnya biaya ini berbeda satu sama lain disebabkan karena: macam komoditi, lokasi pemasaran dan macam lembaga pemasaran dan efektivitas pemasaran yang dilakukan.
Sering kali komoditi pertanian yang nilainya tinggi diikuti dengan biaya pemasaran yang tinggi pula. Peraturan pemasaran disuatu daerah juga kadang-kadang berbeda satu sama lain. Begitu pula macam lembaga pemasaran dan efektivitas pemasaran yang mereka lakukan. Makin efektif pemasaran yang dilakukan, maka akan semakin kecil biaya pemasaran yang mereka keluarkan (Soekartawi, 1993: 156).
Selisih harga yang dibayarkan ke produsen dan harga yang diberikan oleh konsumen disebut dengan keuntungan pemasaran. Besar kecilnya keuntungan yang diambil oleh masing-masing lembaga pemasaran akan menentukan harga dimasing-masing lembaga pemasaran
(Soekartawi, 1993: 157).
Keuntungan pemasaran didefinisikan sebagai selisih harga yang dibayarkan produsen dan harga yang diberikan oleh konsumen. Masing-masing lembaga ingin mendapatkan keuntungan, maka harga yang dibayarkan oleh masing-masing lembaga pemasaran juga berbeda. Semakin maju tingkat pengetahuan produsen, lembaga pemasaran dan konsumen terhadap penguasaan informasi pasar, maka semakin merata distribusi marjin pemasaran yang diterima (Soekartawi, 1993: 157).
Menurut Sudiyono (2004: 94) marjin pemasaran didefinisikan dengan dua cara yaitu:

a. Marjin pemasaran merupakan perbedaan harga antara harga yang dibayarkan konsumen dengan harga yanga diterima petani, secara sistematis dapat dirumuskan sebagai berikut:
M = Pr – Pf
Keterangan:
M : Marjin pemasaran
Pr : Harga ditingkat konsumen
Pf : Harga ditingkat petanini

b. Marjin pemasaran terdiri dari komponen yang terdiri dari biaya-biaya yang diperlukan lembaga-lembaga pemasaran untuk melakukan fungsi-fungsi pemasaran dan keuntungan lembaga pemasaran. Secara sistematis marjin pemasaran dapat dirumuskan sebagai berikut:
Mp = Bp + Kp
Keterangan :
Mp : Marjin pemasaran
Bp : Biaya pemasaran
Kp : Keuntungan pemasaran

Path Analysis

Pada dasarnya metode Analisis Lintas (Path Analysis) merupakan analisis regresi linier berstruktur berkenaan dengan variabel-variabel baku (standard dized variable), dalam satu sistem tertutup (closed system) yang secara formal bersifat lengkap. Dengan demikian analisis lintas dapat dipandang sebagai suatu analisis struktural yang membahas hubungan kasual diantara variabel – variabel dalam sistem tertutup. Adapun analisis lintas sangat bermanfaat untuk mengetahui hubungan kasual antar faktor (antar variabel peramal atau variabel independent / variabel bebas) Xi, terhadap pembatas respon dependent (Yi). Melalui analisis lintas dapat diukur pengaruh langsung dari faktor independen terhadap respon hasil (faktor dependent / varaibel tak bebas).
Dihitung dengan persamaan sebagai berikut:
n∑ xixj - (∑xi)(∑xj)
r xix j =
√{n∑xi2 -(∑xi)2 }{n∑xj2-(∑xj)2}

Berdasarkan rumus analisis korelasi diatas kita dapat dilakukan analisis lintasan, yakni dengan membangun gugus persamaan simultannya, yaitu :
r11 r12 r 13 ..... r 1p c1 r1y
r21 r22 r 23 ......r 2p c2 r2y
. . . . . .
. . . . . = .
Rp1 rp2 rpp c rpy
Rx C = Ry
Gambar1. Matriks Korelasi
Keterangan :
Rx = Matriks korelasi antar variabel bebas dalam model regresi berganda yang memiliki p buah variabel bebas jadi merupakan matriks dengan elemen-elemen Rxixj (i, j = 1,2...,p).
C = Vektor koefisien lintasan yang menunjukkan pengaruh langsung dari setiap variabel bebas yang telah dibakukan, Zi, terhadap variabel tak bebas (nilai koefisien lintasan sama dengan koefisien beta atau koefisien regresi baku).
Ry = Vektor koefisien korelasi antar variabel bebas Xi (i = 1, 2, ...,p) dan variabel tak bebas Y : C = R-1 . Ry
Untuk mengetahui pengaruh langsung variabel bebas yang dibakukan, Zi, terhadap variabel tak bebas Y, diukur oleh koefisien lintasan Ci. Pengaruh tidak langsung variabel bebas Zi terhadap varibel tak bebas Y, melalui variabel bebas Zj (melalui kehadiran variabel bebas Zj dalam model), diukur oleh besaran (Cjrij). Pengaruh galat (error) yang tidak dapat dijelaskan oleh suatu model, dimasukkan sebagai pengaruh galat atau sisaan, diukur dengan besaran :
C2s = 1 - ∑C1riy ; Cs =√C2s

Lembaga Pemasaran Pertanian

Lembaga pemasaran adalah pihak yang menjalankan fungsi-fungsi pemasaran.Lembaga ini dapat terdiri dari perorangan atau pun kelompok. Di mana masing-masing lembaga pemasaran tersebut dapat menjalanjan salah satu atau pun beberapa tugas sekaligus. Hadisaputra (1997), membedakan lembaga pemsaran berdasarkan tugas dan jasa yang dilakukannya, yaitu:
a. Pedagang pengumpul, yaitu orang atau kelompok yang mengumpulkan hasil pertanian langsung dari desa.
b. Pedagang distribusi yaitu orang yang menjual barang-barang hasil pertanian yang telah dikumpulkan dari pengecer ke konsumen. Pedangantersebut juga melaksanakan pengangkutan, penyimpanan, penglahan, persiapan, dan juga sering dianggap sebagai spekulator atau stabilisator.
c. Pembungkus dan pengolahan, yaitu orang yang mengubah bentuk dari hasil pertanian agar mudah dijual dan memenuhi keinginan pembeli.
d. Komisioner, yaitu orang yang tugasnya menadakan pembelian atau pun penjualan atas nama pihak lain.
e. Perantara, yaitu orang yang menghubungkan antara penjual dengan pembeli namun tidak melakukan transaksi jual beli.
f. Pelelang, yaitu orang yang bertugas untuk memepertemukan antara penjual dengan pembeli pada tempat dan waktu tertentu serta menjadi penghubung dalam transsaksi beli.
g. Pengecer, yaitu orang yang menyediakan barang dalam bentuk, waktu dan tempat tertentu sesuai dengan keinginan konsumen
Swasata (2002) menggolongkan lembaga pemasaran, sebagai berikut:
a. Pedagang perantara,meliputi:
1). Produsen, sebagai pembuat dan penyalur
2). Pedangan besar, sebagai penjual barang dalam partai besar
3) Pengecer, sebagai penjual barang kepada konsumen
b. Perantara agen, yaitu lembaga pemasaran yang melaksanakan perdagangan dengan menyediakan jasa/fungsi khusus yang berhubungan dengan penjualan dan distribusi barang tetapi tidak berhak memiliki barang tersebut.

Saluran Pemasaran Pertanian

Urut-urutan lembaga pemsaran yang harus dilalui oleh produk pertanian dari tempat berproduksi sampai konsumen akhir disebut dengan saluran pemasaran. Suatu jenis hasil produksi dimungkinkan mempunyai lebih dari satu macam saluran pemasaran. Pada umumnya alasan utama penggunaan jasa perantara pemsaran karena mereka dapat membantu meningkatkan efisiensi pemasaran (Swastha, 2002).
Dalam saluran pemasaran yang dikemukakan oleh Soekarwati (1996), dapat berbentuk secara sederhana dan dapat pula rumit sekali tergantung dari macam komoditinya. Lembaga pesaran yang mampu dengan cepat menyampaikan produk kepada konsumen, biasanya saluran pemasarannya lebih sederhana.
Kegiatan saluran pemasaran merupakan suatu tindakan ekonomi yang mendasarkan pada kemampuannya untuk membantu dalam penciptaan nilai ekonomi. Sedangkan nilai ekonomi menentukan harga barang dan jasa kepada indivisu-individu (Swastha, 2002). Dalam sistem pemasaran produsen seringkali menggunakan perantara sebagai penyalurnya, dan perantara ini merupakan suatu kegiatan usaha yang berdiri sendiri serta berbeda di antara produsen dan konsumen akhir atau pemakai. Lebih lanjut Swastha (2002) mengemukakan bahwa dalam penyaluran barang konsumsi yang ditujukan untuk pasar konsumen
1. Produsen → Konsumen Akhir
Saluran ini merupakan model saluran yang paling sederhana dan pendek, seringkali disebut juga pemasaran langsung.
2. Produsen → Pengecer → Konsumen Akhir
Saluran ini melibatkan beberapa pengecer besar yang membeli secara langsung dari produsen, ada juga beberapa penjualan langsung pada konsumennya tetapi kondisi saluran semacam ini tidak umum dipakai
3. Produsen → Pedagang Besar → Pengecer → Konsumen Akhir
Saluran pemasaranini disebut juga saluran tradisional dan banyak digunakan oleh produsen. Di mana produsen hanya elayani penjualan dalam jumlah besar kepada pedagang besar.
4. Produsen → Agen → Pengecer → Konsumen Akhir
Pada saluran pemasaran ini selain melibatkan pedagang besarm produsen juga menggunakan agen pabrik, makelar, atau perantara lainnya untuk mencapai penbgecer besar.
5. Produsen → Agen → Pedagang Besar → Pengecer → Konsumen Akhir
Pada saluran pemasaran ini untuk mencapai pengecer kecil, produsen sering menggunakan agen sebagai perantara dalam proses penyaluran barangnya kepada pedagang besar yang kemudian disalurkan kepada toko-toko kecil.

Pengukuran Keberhasilan Inseminasi buatan

Service Per Conception ( S/C )
Service Per Conception ( S/C ) adalah jumlah perkawinan atau inseminasi hingga diperoleh kebuntingan. Semakin rendah S/C semakin tinggi kesuburan ternak betina tersebut, sebaliknya semakin tinggi S/C kesuburan seekor ternak semakin rendah ( Partodiharjo, 1992 ).
Perhitungan S/C adalah perbandingan jumlah straw yang digunakan untuk IB dengan jumlah keseluruhan ternak yang di inseminasi dan menjadi bunting.
Rumus S/C

jumlah straw yang dihabiskan
S/C =
Jumlah ternak yang bunting

Dalam suatu peternakan bila angka konsepsi berkisar 1,5 – 1,7 untuk setiap kebuntingan sudah dianggap baik ( Partodiharjo, 1992 ).

Angka Kebuntingan
Salah satu ukuran yang sering dipakai dalam penentuan angka kebuntingan ternak menggunakan Non Return Rate ( NR ) pada ternak yang tidak kembali minta kawin pada waktu 60 – 90 hari. Metode pengukuran dipengaruhi oleh jumlah ternak yang di inseminasi, waktu perkawinannya serta perhitungan betina yang kembali minta di kawinkan dan pengaruh yang kadang-kadang mempertinggi jumlah ternak yag estrus dan ternak menjadi tidak bunting ( Toelihere, 1993 ).
Kurang tepatnya perhitungan NR dapat juga karena peternak tidak melaporkan kepada petugas inseminator bila sapi yang di kawinkan mengalami kebuntingan. Penjualan ternak yang dilakukan oleh peternak tanpa adanya laporan dapat mempengaruhi perhitungan NR. Menurut Partodiharjo, (1992) angka kebuntingan dianggap baik bila mencapai 60% untuk IB pertama.

Angka Kelahiran
Angka kelahiran adalah suatu ukuran terbaik dalam penilaian hasil perkawinan dengan melihat persentase jumlah ternak yang dilahirkan pada setiap inseminasi disebut dengan calving rate (CR) atau angka konsepsi. Angka konsepsi ditentukan berdasarkan persentase kebuntingan setelah inseminasi (Toelihere, 1993).

Makna dalam Karya Sastra

Djajasudarma (1977 : 31) menyatakan bahwa ketetapan suatu kata untuk mewakili suatu hal, barang atau orang tergantung dari maknanya. Tetapi dari waktu ke waktu kata-kata dapat mengalami perubahan. Perubahan-perubahan yang terjadi dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
1) faktor kebahasaan (linguistic causes). Berhubungan dengan morfologi, fonologi dan sintaksis.
2) faktor sejarah (historical causes).
3) faktor sosial (social causes).
4) faktor psikologis (psychological causes) yang berwujud faktor emotif dan hal-hal tabu yang muncul karena takut, kesopanan dan kehalusan.
5) pengaruh bahasa asing.
6) karena kebutuhan akan kata-kata baru.
Menurut Ullmann (1972: 193-195) perubahan makna kata dapat terjadi karena beberapa faktor seperti:
1) bahasa diturunkan dari satu generasi satu ke generasi lainnya. Oleh karena itu, sangat mungkin terjadi kesalahpahaman dalam mengartikan arti dari kata-kata.
2) kekaburan (vagueness) arti sebuah kata juga merupakan salah satu penyebab berubahnya makna kata tersebut.
3) kata yang keberadaannya terlalu terkekang pada lingkungannya juga bisa berubah menjauh dari arti sebenarnya.
4) keberadaan polisemi menambah faktor fleksibilitas dalam bahasa.e. ketaksaan (ambiguity) makna dari sebuah kata juga dapat menimbulkan perubahan semantik kata tersebut.
5) struktur perbendaharaan kata yang lebih mudah berubah dibandingkan dengan sistem fonologis dan gramatikal dari bahasa.
Oleh karena itu, dapat ditarik simpulan bahwa makna dapat berubah-ubah, dan perubahan-perubahan yang terjadi pada makna bergantung kepada berbagai faktor.
C.2. Jenis Makna
Para ahli bahasa mempunyai pendapat yang beragam mengenai penggolongan makna ke dalam jenis-jenisnya. Berikut akan dijabarkan makna menurut Soedjito (1990: 52-59):
1) makna leksikal dan makna gramatikal (berdasarkan hubungan unsur bahasa yang satu dengan yang lain). Makna leksikal, menurut Djajasudarma, adalah “makna unsur-unsur bahasa sebagai lambang benda, peristiwa, dan lain-lain. Makna leksikal ini dimiliki unsur-unsur bahasa secara tersendiri, lepas dari konteks” (1993 : 13). Misalnya kata mata dalam kalimat mata saya sakit berarti alat / organ tubuh manusia yang berfungsi untuk melihat. Sedangkan makna gramatikal, masih menurut Djajasudarma, adalah makna yang menyangkut hubungan intra bahasa, atau makna yang muncul sebagai akibat berfungsinya sebuah kata dalam kalimat (1993 : 13). Misalnya kata mata pada kalimat adik ingin telur mata sapi berarti goreng telur yang rupanya mirip dengan mata sapi.
2) makna denotatif dan makna konotatif (berdasarkan penunjukannya). Alwasilah (1995 : 147) berpendapat bahwa makna denotatif mengacu kepada makna leksikal yang umum dipakai atau singkatnya makna yang biasa, objektif, belum dibayangi perasaan, nilai, dan rasa tertentu. Misalnya terlihat pada kata gadis di dalam kalimat seorang gadis berdiri di depan rumah sakit. Kata gadis di sini adalah kata umum dan netral. Sebaliknya, mengutip pendapat Alwasilah (1995 : 147), makna konotatif bersifat subjektif dalam pengertian ada pergeseran dari makna umum (denotatif) karena sudah ada penambahan rasa dan nilai tertentu. Sebagai contoh terlihat pada kalimat seorang perawan berdiri di depan rumah sakit. Kata perawan di sini walaupun artinya sama, yaitu gadis muda, bagi beberapa orang mungkin diasosiasikan dengan ketaatan beragama, moral, atau modernisasi.
3) makna lugas/sebenarnya dan makna kiasan/figuratif (berdasarkan penerapannya terhadap acuan).
a) makna lugas ialah makna yang acuannya cocok dengan makna kata yang bersangkutan. Misalnya kata mahkota pada kalimat mahkota raja dicuri orang tadi malam.
b) makna kiasan ialah makna yang referennya tidak sesuai dengan kata yang bersangkutan. Misalnya kata mahkota pada kalimat rambut adalah mahkota wanita.
c) makna kontekstual ialah makna yang ditentukan oleh konteks pemakaiannya. Makna ini akan menjadi jelas jika digunakan dalam kalimat. Makna kontekstual sebagai akibat hubungan antara ujaran dan situasi.
Sebagai contoh seorang ibu berkata Jangan! Kepada anaknya yang sedang bermain api. Di sini kata jangan! Dapat berarti jangan masukkan tanganmu ke dalam api, berbahaya!.
Sedangkan Larson mengungkapkan adanya makna implisit. Dia juga membagi makna implisit menjadi tiga golongan (1984: 34-37), sebagai berikut:
a. makna referensial implisit (implicit referential meaning).
b. Makna organisasional/kontekstual implisit (implicit organizational meaning).
c. makna situasional implisit (implicit situational meaning).

C.3. Makna Implisit
Larson (1984: 34) menyatakan bahwa makna implisit merupakan makna yang tidak ditampilkan tetapi merupakan bagian dari pembicaraan atau maksud yang ingin disampaikan penutur. Di dalam proses memahami makna implisit ini, penanggap tutur terkadang harus berusaha keras untuk tiba pada tafsiran yang tepat antara lain dengan melalui pembayangan atau penafsiran. Penanggap harus mengetahui hal tertentu yang menjadi acuan, situasi dan konteks. Pengetahuan konteks akan sangat membantu penanggap untuk mendapat tafsiran yang tepat.
Aminuddin, mengutip pendapat Samuel dan Kiefer, mengemukakan adanya ungkapan reading the lines, yakni membaca untuk memahami makna yang tersurat dan ungkapan reading between the lines, yaitu membaca untuk memahami makna yang implisit. Jadi, makna dapat dibedakan antara makna yang tersurat dan makna yang tersirat (1985: 92).
Masih menurut Aminuddin (1985: 50) agar seorang penanggap dapat mencapai tafsiran yang tepat, dalam proses penafsirannya makna harus diperhatikan keterkaitannya dengan hal-hal sebagai berikut.
a. ciri-ciri atau unsur internal kebahasaan.
b. sistem sosial budaya yang melatari.
c. pemakai, baik sebagai penutur atau penanggap tutur.
d. ciri informasi dan ragam tuturan yang disampaikan.

C.4. Makna Referensial Implisit
Keberadaan referen dalam menginterpretasikan makna sangatlah penting. Makna akan sulit untuk dimengerti apabila referennya tidak diketahui. Gambaran makna yang dihasilkan oleh elemen kebahasaan yang berupa kata, kalimat maupun elemen lainnya sehubungan dengan unsur luar bahasa baik itu berupa realitas maupun pengalaman disebut referen, demikian Aminuddin (1985: 88).
Kridalaksana (1993: 186) mengatakan bahwa referen adalah unsur luar bahasa yang ditunjuk oleh unsur bahasa. Yang dimaksud dengan unsur bahasa di sini diantaranya kata atau kalimat.
Makna referensial, menurut Kridalaksana, adalah makna unsur bahasa yang sangat dekat hubungannya dengan dunia di luar bahasa (objek atau gagasan), dan yang dapat dijelaskan oleh analisis komponen (1993 : 199). Dengan kata lain makna ini mengacu langsung pada benda, kejadian, atribut, atau relasi tertentu yang dapat dilihat atau dibayangkan yang merupakan isi informasi atau sesuatu yang dikomunikasikan.
Halliday dan Hasan (1976: 37) mengemukakan bahwa referen dalam suatu teks bisa bersifat eksoforik, yaitu yang mengacu pada hal-hal di luar konteks, ataupun endoforik yaitu yang referennya terdapat dalam konteks itu sendiri. Referen endoforik terbagi dalam anaforik, yang mengacu pada referen yang telah disebutkan dan kataforik yaitu yang mengacu pada konteks yang mengikutinya. Kemudian Halliday dan Hasan mengelompokkan referen ke dalam tiga jenis, yaitu:
a. referen personal, yaitu referen yang terdapat pada kategori persona.
b. referen demonstratif, yaitu referen yang terdapat pada penunjukan lokasi atau tempat.
c. referen komparatif adalah referen tidak langsung yang terdapat pada pemakaian ciri-ciri atau kesamaan sesuatu.

Hermeneutika Dalam Puisi

Secara etimologis, kata hermenutik berasal dari bahasa Yunani hermeneuein (kata kerja) yang berarti menafsirkan atau hermeneia (kata benda) yang dapat diartikan sebagai penafsiran atau interpretasi. Kata tersebut berasal dari tokoh mitologis bernama Hermes, yaitu seorang utusan yang mempunyai tugas menyampaikan pesan Jupiter kepada manusia. Tugas Hermes adalah menerjemahkan pesan-pesan dari dewa di gunung Olympus ke dalam bahasa manusia (Sumaryono, 1999: 23). Hermeneutik diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti (E. Palmer, 1969: 3)
Salah satu tokoh hermeneutik adalah Hans Georg Gadamer. Gadamer lahir di Marburg pada tahun 1900. Gelar doktor filsafat ia peroleh pada tahun 1922. Sejak tahun 1949 ia mengajar di Heidelberg sampai ia pensiun. Menjelang masa pensiunnya pada tahun 1960, karier filsafat Gadamer mencapai puncaknya, yaitu ditandai dengan munculnya buku yang berjudul Kebenaran dan Metode karya Gadamer (Sumaryono, 1999: 67). Teorinya menarik untuk analisis teks karena pandangannya tentang interpretasi teks yaitu perpaduan antar cakrawala. Disamping itu, gadamer tidak berfikir melalui kalimat-kalimat pernyataan ataupun proposisi, melainkan lebih mengarah pada berfikir melalui bertanya (Sumaryono, 1999: 69).
Hermeneutika sebagai ilmu maupun metode mempunyai peran luas dan penting dalam filasfat. Dalam sastra pembicaraanya sebatas sebagai metode. Sebagai metode, hermeneutik diartikan sebagai cara menafsirkan teks sastra untuk diketahui maknanya. Dalam sastra dan filsafat hermeneutika disejajarkan dengan interpretesi dan pemahaman. Metode Hermeneutik pada dasarnya sama dengan metode analisis isi. Diantara metode-metode yang lain, hermeneutik adalah salah satu metode yang dapat digunakan dalam penelitian teks sastra (Ratna, 2006: 44). Namun demikian, menurut Sumaryono (1999: 21) hermeneutik belum bisa diterima sebagai metode yang universal, namun metode ini setidaknya mendukung pemahaman tentang sebuah pemahaman dan interpretasinya.
Setiap peneliti sastra bertanggung jawab terhadap suatu karya sastra yang sedang dikajinya. Peneliti karya sastra wajib memberikan penafsiran seperti yang dibutuhkan oleh orang pada masa kini (Damono, 1978: 5). Jadi, tugas peneliti sastra adalah mengungkap kandungan makna pada sebuah teks dalam perspektif masa kini atau pada saat teks tersebut dibaca oleh pembaca.
Permasalahan yang dihadapi peneliti dalam melaksanakan tanggung jawab tersebut adalah bagaimana peneliti mampu memahami makna terdalam yang terkandung dalam teks lagu Ahmad Dhani. Inti permasalahan tersebut adalah bagaimana peneliti dapat memahami kandungan sufistik dalam teks lagu Ahmad Dhani, padahal teks lagu itu ditulis pada waktu dan latar belakang sosial budaya yang berbeda dengan peneliti. Salah satu kerangka pemahaman yang dapat membantu untuk memecahkan permasalahan tersebut adalah hermeneutika yang kemudian dirumuskan metodenya. Pradopo (1994: 90) menjelaskan dalam penelitian sastra, dengan menggunakan salah satu teori sastra, pertama kali, harus dimengerti dahulu mengenai teori itu, kemudian dirumuskan metodenya.
Secara etimolagis hermeneutika berasal dari kata hermeneuein, bahasa yunani, yang berarti menafsirkan atau menginterpretasikan. Hermeneutik pada awalnya digunakan untuk menafsirkan kitab suci (Ratna, 2006: 45). Palmer (1969: 3) mendefinisaikan hermeneutik sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti, sehingga yang menjadi tugas pokok hermeneutik adalah bagaimana menafsirkan sebuah teks klasik menjadi milik kita yang hidup di jaman dan tempat yang berbeda. Hermeneutik merupakan usaha memahami atau mengiterpretasikan sebuah teks (Sumaryono, 199: 83).
Tugas hermeneutik adalah mencari dalam teks kemampuan karya untuk memproyeksikan diri keluar dari dirinya dan melahirkan suatu dunia yang merupakan pesan teks itu. Dalam bidang kajian sastra, hermeneutik diartikan sebagai ilmu atau keahlian menginterpretasikan karya sastra dan ungkapan bahasa dalam arti yang lebih luas menurut maksudnya (Teeuw, 2003: 102).
Hans-Georg Gadamer, seorang pemikir hermeneutik, berpendapat bahwa maksud sebuah teks harus dibedakan dari maksud pengarangnya. Teks bersifat otonom, teks mempunyai kehidupan sendiri, lepas dari penulis dan pembacanya. Interpretasi teks itu oleh seorang pembaca tidak dapat tidak berarti pemberian makna sesuai dengan situasi si pembaca. Interpretasi teks selalu merupakan fusion of horison (pembauran cakrawala), yakni dalam proses pemahaman oleh seorang pembaca berlangsung atau terjadi persesuaian perpaduan cakrawala, perpaduan antara cakrawala masa lampau saat teks itu tercipta dan cakrawala masa kini si pembaca (Teeuw, 2003: 143).
Gadamer menaruh perhatiannya terhadap seni karena hermeneutik dengan seni memiliki hubungan yakni di dalam seni terdapat suatu kebenaran. Sebagai contoh, dalam sebuah lukisan, garis-garis yang mestinya ditarik lurus justru ditarik miring, atau campuran warnanya yang tidak menurut kombinasi yang lazim, seringkali menghasilkan efek kenikmatan yang estetis. Artinya, interpretasi tidak bersifat kaku atau statis (Sumaryono: 1999: 70-71).
Menurut konsep Gadamer interpretasi adalah penciptaan kembali. Interpretasi terjadi jika adanya perpaduan cakrawala atau fusion of horison (Sumaryono, 1999: 78). Gadamer juga menegaskan bahwa interpretasi akan benar jika interpretasi tersebut mampu menghilang dibalik bahasa yang digunakan. Artinya interpretasi yang baik bila tidak menurut kata per kata, tetapi disesuaikan menurut ragam bahasanya sendiri (Sumaryono, 1999: 81). Dalam penelitian ini, peneliti hanya dapat memahami teks dari pusat pandangan peneliti dan dari sejarahnya sendiri. Interpretasi selalu bersifat perspektival karena interpretasi selalu dibatasi oleh horison atau cakrawala peneliti yang hidup pada saat sekarang. Interpretasi tidak akan pernah sampai pada interpretasi yang menyeluruh karena perhatian peneliti hanya diarahkan pada elemen-elemen yang berkaitan dengan kondisi kontemporer si peneliti. Puncak atau hasil maksimal dari interpretasi adalah fusion of horizons atau bertemunya cakrawala masa lalu ketika teks diciptakan dan masa kini saat teks ditafsirkan.
Guna mendukung pencapain fusion of horison, setiap penelitian selalu diawali dengan orientasi awal yang didasarkan pada teks atau yang menjadi pijakan pertama adalah teks (Suwondo, 1994: 74). Dalam metode hermeneutik ini, orientasi awal itu kurang lebih sama pengertiannya dengan praanggapan atau menurut gadamer adalah bildung yang dapat diartikan sebagai gambaran umum. Bildung itu diperoleh peneliti dari pemahaman sejarah dan pemahaman budayanya sendiri. Peneliti sebagai seorang manusia memiliki akal budi, yakni kemampuan untuk mengaitkan makna-makna itu ke dalam rangkaian-rangkaian yang koheren dan terpadu. Pemahaman tentang sejarah hidup dan pemahaman tentang kebudayaannya sendiri menyebabkan ia mampu memahami sejarah dan kebudayaan orang lain. Misalnya, bila seorang membaca suatu teks kesusastraan keseluruhan latar belakangnya ikut berperan. Dua orang yang berbeda latar pendidikan, usia, kebudayaannya tidak akan melakukan interpretasi dengan cara yang sama (Sumaryono, 1999:72).
Karya sastra merupakan karya seni yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya (Pradopo, 1994: 93). Dalam hermeneutika, bahasa merupakan jembatan antara pengalaman hermeneutik dan interpretasi. Hal ini terjadi karena manusia dalam merumuskan makna dan mengaitkan makna yang satu dengan makna yang lain ke dalam rangkaian-rangkaian yang koheren dan terpadu, melalui proses berbahasa. Pemahaman manusia tentang dunia ini terjadi melalui bahasa dan konsep atau rangkaian-rangkaian makna yang koheren dan terpadu.
Visi sastra modern menyebutkan bahwa dalam karya sastra terkandung ruang-ruang kosong, ditempat itulah pembaca memberikan berbagai penafsiran. Makin besar sebuah karya sastra, maka semakin banyak mengandung ruang-ruang kosong, sehingga semakin banyak investasi penafsiran yang dapat ditanam didalmnya. Dalam interpretasi ruang-ruang kosong tersebut, metode hermeneutika tidak mencari makna yang benar, melainkan makna yang paling optimal (Ratna, 2006: 46)

Ketidaklangsungan ekspresi puisi

Penggantian arti disebabkan oleh penggunaan bahasa kias. Bahasa kias mencakup semua jenis ungkapan yang memiliki makna lain dengan makna harfiahnya. Bahasa kias bisa berupa kata, frasa, ataupun satuan sintaksis yang lebih luas. Sesuai dengan hakekat puisi sebagai pemusatan dan pemadatan ekspresi, bahasa kias dalam puisi berfungsi sebagai saraba pengedepanan suatu yang berdimensi jamak dalam bentuk yang sesingkat-singkatnya. Disamping itu, sebagai akibat bentuknya yang singkat, bahasa kias juga berfungsi membangkitkan tanggapan pembaca. Fungsi bahasa kias adalah untuk mengiaskan atau mempersamakan suatu hal dengan hal lain supaya gambaran menjadi jelas, lebih menarik dan hidup (Pradopo, 1999: 62)
Bahasa kias dalam puisi dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok, yakni kelompok perbandingan (metafora dan simile), penggantian (metonimi dan sinekdoki), dan pemanusiaan (personifikasi). Kesemua bahasa kias tersebut memiliki sifat yang umum, yaitu bahasa-bahasa kias tersebut mempertalikan sesuatu dengan cara menghubungkannya dengan yang lain (Altenbern dalam Pradopo, 1999: 62)
Metafora adalah bahasa kias yang membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain tanpa kata pembanding, misalnya Bumi ini perempuan jalang. Simile adalah bahasa kias yang membandingkan suatu hal dengan hal lain disertai dengan kata pembanding seperti: bagai, sebagai, bak, seperti, semisal, seumpama, laksana, dan kata-kata pembanding lainnya, misalnya serupa dara dibalik tirai (Pradopo, 1999: 62).
Metonimi adalah bahasa kias berupa penggunaan sebuah atribut sebuah objek atau penggunaan sesuatu yang sangat dekat berhubungan dengannya untuk menggantikan objek tersebut. Contoh klakson dan lonceng bunyi bergiliran. Kata klakson dan kata lonceng dapat menggantkan orang-orang atau partai-partai yang bersaing adu keras suaranya (Pradopo, 1999: 78).
Sinekdok adalah bahasa kiasan yang menyebutkan suatu bagian yang penting suatu benda (hal) untuk benda (hal) itu sendiri (Altenbern dalam Pradopo, 1999: 78). Sinekdoki ada dua macam, yaitu (1) pars pro toto (sebagian untuk keseluruhan), (2) totum pro parte (keseluruhan untuk sebagian). Contoh: kujelajahi bumi dan alis kekasih. Kata bumi merupakan totum pro parte, dan kata kekasih merupakan pars pro toto.
Personifikasi adalah bahasa kias yang menyamakan sesuatu (benda) dengan manusia, benda-benda mati dibuat seolah-olah dapat berfikir, berbuat dan sebagainya layaknya manusia (Sayuti, 2002: 68). Contoh: ombak bernyanyi, burung-burung tertawa riang.
Menurut Riffaterre (dalam Pradopo, 1999: 213) penyimpangan arti disebabkan oleh tiga hal yakni ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense. Ambiguitas adalah penafsiran bermacam-macam arti atau makna terhadap suatu ungkapan atau kata. Kontradiksi adalah salah satu car men yampaikan maksud secara berlawanan atau kebalikannya (Pradopo, 1999:215). Nonsense adalah kata-kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti atau kata-kata yang merupakan ciptaan penyair sendiri, contoh potapa potitu potkaukah potaku (Pradopo, 1999: 219).
Penciptaan arti dipengaruhi oleh sajak (rima), enjambemen, dan tipografi. Sajak (rima) adalah persamaan bunyi akhir kata. Bunyi ini berulang secara terpola dan biasanya terdapat di akhir baris saja, tetapi kadang-kadang terletak di awal atau di tengah baris. Enjambemen adalah kata atau frasa atau baris puisi yang berfungsi ganda yakni menghubungkan bagian yang mendahului dengan bagian yang mengikutinya. Artinya, sebuah kelompok kata dipenggal, dan penggalannya dipindah ke baris berikutnya. Tipografi merupakan aspek bentuk visual puisi yang berupa tata hubungan dan tata baris. Tipografi kadang disebut sebagai susunan baris puisi dan ada pula yang menyebutnya sebagai ukiran bentuk. Tipografi dalam puisi dipergunakan untuk mendapatkan bentuk yang menarik supaya indah dipandang oleh pembaca

Sastra Perbandingan

Dalam ruang lingkup karya sastra, sastra perbandingan dapat digolongkan menjadi ampat bidang utama yaitu:
1. Kajian yang bersifat komparatif yaitu mnelaah teks dan seterusnya. Kajian ini mendasarkan pada nama pengarang, tahun penerbitan, lokasi penerbitan dan seterusnya. Kajian ini untuk melihat influence study atau affinity study
2. Kajian bandingan histories yaitu ingin melihat pengaruh nilai-nilai histories yang melatar belakangi kaitan antara satu karya sastra dengan karya sastra lain atau mungkin antara karya sastra dengan buah pemikiran manusia. Tugas studi ini untuk melihat seberapa pengaruh histories tertentu yang masuk dalam diri pengarang sehingga menciptakan karya. Hal ini mirip dengan strukturalisme genetic, hanya dibandingkan
3. Kajian bandingan teoritik, bertujuan untuk menggambarkan secara jelas tentang kaidah-kaidah kesusteraan, misalkan saja, peneliti dapat membandingkan berbagai genre, aliran dalam sastra, kritik sastra (antara strukturalisme dan formalisme), tema dan sebagainya. Dalam kaitan ini, tampak tidak secara langsung membandingkan cipta sastra, namun hakikatnya tidak demikian peneliti tetap membandingkan karya sastra. Hanya saja, bandingan diarahkan untuk menemukan atau meyakinkan berbagai teoritik sastra
4. Kajian antar disiplin ilmu, yaitu bandingan antara karya sastra dengan bidang lain misalkan kepercayaan, politik, agama, seni dan sebagainya. Titik tolak bandingan adalah karya sastra sedangkan bidang lain berguna untuk memperjelas informasi sastra (Endraswara, 2007)
Dalam pandangan Jost (dalam Rahman, 2000) sastra bandingan juga dapat meliputi aspek: pengaruh, sumber ilham (acuan), proses pengambilan ilham atau pengaruh dan tema dasar. Dalam kaitan ini ada empat kelompok kajian sastra bandingan jika dilihat dari aspek objek garapan yaitu; Pertama, kategori yang melihat hubungan karya sastu dengan lainnya dengan menelusuri juga kemungkinan adanya pengaruh satu karya terhadap karya yang lain. Termasuk dalam interdispliner dalam sastra bandingan adalah filsafat, sosiologi agama dn sebagainya. Kedua, aktegori yang mengkaji tema karya sastra. Ketiga, kajian terhadap gerakan atau kecenderungan yang menandai suatu peradaban. Keempat, analisis bentuk karya sastra (genre).
Dalam lingkup kajian demikian, secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua golongan yakni: (1) kajian persamaan dan (2) kajian konsep pengaruh. Kajian persamaan, tidak selau menjawab masalah; mengapa terdapat persamaan namun juga lebih kepada apabila dua karya sastra memiliki kesamaan berarti ada hal paralel dalam bidang tertentu.

Judul Skripsi Psikologi; Kemandirian

Kemandirian merupakan salah satu aspek karakter yang dianggap menjadi salah satu indikator dari keberhasilan perjalanan hidup seseorang.Bahkan dalam salah satu artikel yang pernah saya baca, kemandirian menjadi salah satu indikator yang dimasukkan kesiapan anak memasuki sekolah dasar.kalau tidak salah (alias lupa, indikator lain adalah ketekunan dan kedisiplinan)....
muncul pertanyaan saya mengapa kemandirian jauh lebih penting ditekankan dari pada kemampuan semisal calistung). Melalui penelusuran dari beberapa buku yang kemudian saya rangkum, saya menyimpulkan bahwa kemandirian merupakan suatu dimensi yang sangat luas. tidak hanya menyangkut kemampuan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan tanpa bantuan orang lain namun di dalamnya mengandung beberpa hal, misalknya 1) hasrat bersaing untuk maju demi kebaikan dirinya, (2) Mampu mengambil keputusan dan inisiatif untuk mengatasi masalah yang dihadapi (3) Memiliki kepercayaan diri dalam mengerjakan tugas-tugasnya (4) Bertanggungjawab terhadap apa yang dilakukannya.
Satu hal lagi yang perlu dicatata dalam menumbuhkembangkan sikap kemandirian adalah peranan orang tua. Orang tualah yang memunculkan dan membentuk dasar-dasar kemandirian. Baru kemudian setelah interkasinya di lingkungan smeakin banyak muncul porsi yang lebih besar dari lingkungan . secara bersama-sama peran orangtua dan respon dari lingkungan sangat diperlukan bagi anak sebagai “penguat” bagi setiap perilakunya.
Kemandirian sendiri merupakan suatu sikap yang diperoleh secara kumulatif selama perkembangan, dimana individu akan terus belajar untuk bersikap mandiri dalam menghadapi berbagai situasi di lingkungan, sehingga individu pada akhirnya akan mampu bertindak dan berpikir sendiri. Artinya perlu suatu pembentukan yang terus berlangsung bahkan ketika anak kita menjadi remaja atau bahkan individu dewasa.
tentunya pembentukan kemandirian tersebut berubah-ubah seiring dengan karakter pribadi dan perkembangan yang dilalui oleh sang anak. hal ini disesuaikan dengan porsi tanggung jawab yang dikenakan pada perkembangan tersebut.
Catatan selanjutnya (masih harus banyak belajar mengenai langkah-langkah yang harus dilakukan untuk menumbuhkembangkan kemandirian)...

Rabu, 23 Maret 2011

Depresi

Depresi dapat diartikan sebagai sebuah kondisi batin yang tertekan dalam waktu panjang (stres berkelanjutan) dan mengakibatkan hilangnya harapan hidup, makna hidup, motivasi berprestasi, dan kepercayaan-diri (losing mood and confidence). Secara garis besar depresi bisa terjadi distimulasi oleh keadaan eksternal yang berubah ke arah yang lebih buruk dan itu di luar kontrol individu tersebut. Kondisi emosi atau psikologis masing-masing orang turut menentukan apakah sesuatu itu dapat menyebabkan depresi, sejauh mana tingkat depresinya serta seberapa besar kemampuan orang itu untuk mengatasi masalah (hingga tidak sampai depresi) atau, seberapa besar kemampuan orang itu untuk mengatasi depresinya.(Beck,1979)
Misalnya kematian orang-orang tercinta atau bencana alam yang menyisakan kenangan-kenangan traumatik. Bila ini berlanjut ke tingkat yang lebih tinggi maka menyebabkan individu kehilangan mood, kehilangan gairah untuk melangkah, kehilangan kepercayaan diri, maka trauma itu menyebabkan seseorang mengalami depresi. Individu kehilangan daya tarik untuk menjadikan hidup individu menjadi lebih hidup dan kehilangan semangat untuk menjalankan aktivitas positif.
Depresi juga muncul karena ulah individu sendiri. Ulah di sini ada yang berbentuk penyimpangan / pelanggaran atau ada yang berbentuk pengabaian. Hampir seluruh tindak penyimpangan atau pelanggaran atas apa yang benar di dunia ini dalam skala / ukuran yang besar, umumnya akan melahirkan konsekuensi yang tidak terkontrol. Bila konsekuensi buruk itu terjadi dan merembet kemana-mana dan semuanya menjadi pilihan buruk buat individu, ini juga bisa menimbulkan depresi. Pengabaian terhadap diri sendiri seperti potensi yang tidak dikembangkan atau mempunyai resource tetapi tidak digunakan, dan lain-lain, ini juga bisa menimbulkan depresi. Jadi, bukan pengabaiannya yang menyebabkan depresi tetapi konsekuensi pengabaian itulah yang membuat orang menjadi depresi. Individu mulai merasa tidak berarti bagi diri sendiri dan orang lain. (Gilbert et al,1988)
Cara mengatasi depresi adalah dengan memperbaiki: a) hubungan dengan diri sendiri dengan cara control diri, dialog diri, dll, b) hubungan dengan orang lain dan c) hubungan dengan Tuhan (meningkatkan iman).
Memperbaiki hubungan dengan diri sendiri akan membuat individu cepat mengontrol atau menarik diri dari keadaan yang tidak menguntungkan individu. Kalau individu sadar bahwa individu sedang depresi dan sadar bahwa individu harus segera mengambil tindakan, tentunya ini akan beda persoalannya.
Memperbaiki hubungan dengan manusia lain akan membantu usaha yang individu lakukan dalam mengatasi depresi. Individu tetap harus ingat bahwa manusia itu bisa digolongkan menjadi dua: a) ada manusia yang menjadi sumber depresi buat individu, dan b) ada manusia yang menjadi bantuan solusi atas depresi. Yang individu butuhkan (sebanyak-banyaknya) adalah manusia kelompok kedua. Jangan sampai individu menjauhi semua manusia, trauma kepada semua manusia, atau tidak percaya pada semua manusia. (Jarvis, 2006)
Memperbaiki hubungan dengan Tuhan dapat dilakukan dengan banyak cara, antara lain: a) meningkatkan iman, b) menjalankan ajaran agama yang individu pilih (formal dan non-formal

Judul Skripsi Psikologi; Pemaknaan Makna Hidup

Manusia adalah makhluk yang terus-menerus mencari dirinya sendiri dan yang setiap saat harus menguji dan mengkaji secara cermat kondisi-kondisi eksistensinya. Apa yang berarti dalam eksistensi manusia bukan semata-mata nasib yang menantikan kita, tapi cara bagaimana kita menantikan nasib itu atau melakukan pemahaman terhadap makna hidup. Pemahaman makna hidup individu adalah cara individu memandang dan mengerti akan segala sesuatu dan menentukan garis pembatas yang membentuk sebuah pigura di mana individu berada di dalamnya. Ruangan yang diluar garis pembatas tersebut adalah dunia dan isinya. Bagaimana individu memahami segala sesuatu tergantung sepenuhnya dengan ukuran pigura tersebut dibuat. Keterbatasan yang individu pahami sebagai takdir atau bukan takdir pada prakteknya lebih mengisyaratkan adanya keterbatasan individu memahami sesuatu yang individu ciptakan sendiri. (Frankl dalam Schultz, 1991) Memahami bagaimana dunia dan isinya ini bekerja memiliki implikasi langsung pada situasi konkrit tertentu di dalam hidup individu, terutama berhubungan dengan kemajuan dan kemunduran atau kesuksesan dan kegagalan. Oleh karena itu pemahaman perlu disempurnakan atau didinamiskan menurut perkembangan situasi yang individu hadapi. Kuncinya adalah menerima perubahan dunia dari satu titik ke titik berikutnya sebagai materi untuk mengembangkan diri alias memperluas ukuran pigura individu. (Hewitt, 1994)
Alasannya sangat mendasar ketika pemahaman individu tentang obyek kehidupan ini stagnant sementara realitas eksternal itu berdifat dinamis maka pemahaman individu mandul alias tidak bekerja menciptakan kemajuan melainkan jalan di tempat. Dari sinilah awal dari semua yang individu namakan problem, yaitu ketika pemahaman konseptual tidak lagi sejalan dengan realitas eksternal. Gap tersebut menciptakan sikap yang membenarkan kenyataan secara pasif atau sikap menyatakan kebenaran yang bertentangan dengan kebenaran lain. (Allport, 1955).
Dalam rangka menciptakan pemahaman yang sinergis dengan perkembangan situasi, maka terlebih dahulu individu perlu mengetahui sumber-sumber pemahaman dan memahami bagaimana cara kerjanya, maka jalan untuk mengauditnya akan terbuka lebar. Berikut adalah sebagian dari sumber dominan di mana individu memperoleh pemahaman hidup dan bagaimana individu dapat mengaplikasikannya ke dalam situasi konkrit. (Dollard, 1950)
1. Hukum Universal
Hukum Universal mengandung kebenaran yang diartikulasikan ke dalam pesan-pesan moral yang sifatnya berlaku umum. Selain itu, hukum tersebut juga merupakan kebenaran mutlak yang tidak memberi hak kepada siapa pun untuk mengubahnya. Institusi yang paling banyak mengungkapkan kebenaran tersebut adalah agama-agama, kepercayaan, tradisi, atau sebagian dari adat istiadat. Kebenaran mutlak jelas berupa kebenaran dari langit dan supaya dapat didistribusikan ke bumi ia membutuhkan tool atau alat bantu agar bisa menciptakan penafsiran, pemahaman, persepesi, paradigma mental, dan karakter behavioral seperti ajaran agama.
Namun jika alat bantu yang dipilih seseorang seolah sangat jauh dari realitas, bahkan terjadi seakan-akan missing-link dengan realitas, sehingga misi kebenaran langit yang mestinya untuk memperbaiki manusia justru membelenggunya maka seseorang tersebut biasanya akan mencari alat bantu lain untuk memahami kebenaran . Contohnya terjadi fenomena di mana seseorang menggunakan ajaran agama saat beribadah tetapi ketika mencari makan ia menggunakan ajaran komunisme atau atheisme. Agama, ajaran moral dipahami individu tersebut tidak mendukungnya untuk menjadi kaya.
2. Hukum Personal
Di dalam diri individu sebagai “the person” yang utuh telah diciptakan dua kekuatan yang berlomba merebut posisi kepemimpinan atas kehidupan individu. Kekuatan pertama berupa The Self dan kedua berupa The Ego. The Self adalah kekuatan yang memberi instruksi agar individu memahami diri, menjadi diri dan menjadi master bagi diri individu: "To Know, To become, dan Tobe”. Dialah yang menciptakan pemahaman bahwa kehidupan eksternal ditentukan sepenuhnya oleh kekuatan internal. The Self berbicara tentang sesuatu yang sebenarnya individu kehendaki dan menjadi hak sehingga dalam banyak redaksi doa, The Self adalah permohonan tentang kehidupan surga.
Tidak demikian halnya dengan The Ego. Kekuatannya berupa instruksi untuk mendorong individu menyerahkan naskah hidup asli kepada pihak lain dengan kompensasi individu menggunakan naskah hidup mereka. Kekuatan inilah yang menyuntikkan drug bahwa kehidupan eksternal tidak dipandu oleh kekuatan internal sehingga pada gilirannya sang diri hilang, lenyap tanpa kekuatan dan suara. The Ego adalah bentuk ketergantungan terhadap kekuatan eksternal. Ia adalah bentuk penghindaran yang sering individu ucapkan dalam doa-doa.
Mayoritas dari individu hanya menggunakan kekuatan minimal ketika urusannya berupa ‘menginginkan sesuatu’ dan baru bisa mengeluarkan secara maksimal ketika ‘menghindar dari sesuatu’, apalagi jika konsekuensinya hidup – mati. Dari temuan tersebut disimpulkan bahwa pembeda antara orang genius dengan orang biasa bukan terletak pada kadar potensi atau kemampuan yang diturunkan sejak lahir, tetapi bagaimana menggunakan kemampuan atau potensi tersebut dengan cara-cara tertentu dan maksimal
Contoh nyata individu yang dapat dijadikan contoh dalam menggunakan potensi secara maksimal dengan cara-caranya yang khusus adalah Thomas A. Edison. Mungkin individu bertanya-tanya apakah makhluk seperti Edison atau para avatar lainnya sudah dicetak untuk berbeda dengan individu? Awalnya adalah sama. Ia tetap memiliki fluktuasi emosi antara kecewa dengan kegagalan dan bahagia dengan kesuksesan bahkan mungkin sempat putus asa. Bahkan sekolahnya Edison dikenal sebagai siswa yang tidak memiliki prestasi gemilang sehingga akhirnya sang guru bosan merawatnya. Lalu kekuatan apakah yang terus mendorongnya sehingga rintangan apapun tidak bisa menghambatnya? Kuncinya adalah menemukan cara bagaimana menggunakan mengeluarkan kekuatan The Self sebanding dengan kekuatan The Ego. Apa diraih Edison, tidak mustahil dapat juga diraih oleh individu seindividuinya etos kerja atau motivasi individu belajar menggunakan energi yang individu gunakan untuk bercinta? Jika ini yang terjadi maka pastilah akan muncul kegigihan yang tidak sanggup dibendung oleh diri individu sendiri. (Dennis Fox dan Isaac Prilleltensky, 2005)

3. Hukum Lingkungan
Lingkungan diversikan ke dalam berbagai ungkapan bahasa mulai dari keluarga, saudara, relasi, persahabatan dan lain-lain di mana masing-masing memiliki instruksi berupa instruksi psikologis dan instruksi keadaan yang sifatnya ditawarkan. Individulah yang pada akhirnya menentukan keputusan itu meskipun sayangnya keputusan individu adalah keputusan dengan tidak memutuskan apapun. Di samping memiliki pengaruh di mana semua manusia tidak bisa melepaskannya, lingkungan juga memiliki individu asumsi, persepsi atau penilaian tentang bagaimana lingkungan tersebut melihat dunia. Pemahaman individu tentang hukum lingkungan punya hubungan kausalitas dengan bagaimana individu ingin diperlakukan dan bagaimana individu memperlakukan orang lain. Jika levelnya keinginan, tentu saja individu menginginkan bentuk perlakuan terhormat atau sesuai dengan yang individu inginkan. Semua manusia bahkan hewan pun sama tetapi kuncinya terdapat pada pemahaman individu terhadap instruksi psikologis dan keadaan yang menciptakan perbedaam diametral antara individu dimanfaatkan dan dihormati; antara individu menjadi korban lingkungan dan menciptakan adaptasi.
Kenyataan yang sulit dipungkiri adalah bahwa individu membutuhkan lingkungan untuk menciptakan kemajuan hidup. Tetapi di sisi lain, individu memerlukan upaya membersihkan diri dari pengaruh yang diciptakan oleh pembawaan umum lingkungan yang bisa menjadi penghambat bagi kemajuan hidup individu. Pembawaan umum itulah yang oleh Samuel A. Malone dalam Mind Skill for Manager disebut Conformity yang menjadi ancaman kreativitas untuk merealisasikan keunggulan individu. Menurut Advance Dictionary, Conformity adalah "Action or behavior in agreement with what is usual, accepted or required by custom". Dengan kata lain, konformitas adalah ketakutan untuk menjadi diri sendiri yang berbeda dengan orang lain karena didorong oleh oleh keinginan untuk diterima oleh lingkungan.
Kualitas pemahaman instruksi lingkungan dengan begitu sebanding dengan kualitas kecerdasan bersikap saat individu menjatuhkan kartu hidup. Ketika individu larut ke dalam konformitas, maka bukan penghormatan yang akan individu terima, melainkan pemanfaatan. Saat itulah kebaikan yang individu berikan bisa jadi kebodohan yang individu lakukan. Bahkan lingkungan tidak memiliki makna kualitas apapun ketika individu tidak menemukan peluang belajar mengisi muatan pikiran sukses dari orang yang lebih atas; atau ketika individu tidak menemukan celah mengukur kemajuan dari orang yang sepadan; atau ketika individu tidak bisa membangun empati dari orang yang lebih rendah.
Dalam bagian pertama buku Man's Seach for Meaning (Frankl dalam Schultz, 1991), Frankl mengisahkan pengalamanya selama menjadi tawanan Yahudi di Auschwitz dan beberapa kamp konsentrasi Nazi lainnya. Kehidupannya selama tiga tahun di kamp konsentrasi adalah kehidupan yang mengerikan secara kejam. Setiap hari, ia menyaksikan tindakan-tindakan kejam, penyiksaan, penembakan, pembunuhan masal di kamar gaas atau eksekusi dengan aliran listrik. Pada saat yang sama, ia juga melihat peristiwa-peristiwa yang sangat mengharukan; berkorban untuk rekan, kesabaran yang luar biasa, dan daya hidup yang perkasa. Di samping para tahanan yang berputus asa yang mengeluh, "mengapa semua ini terjadi pada kita? "mengapa aku harus menanggung derita ini?" ada juga para tahanan yang berpikir "apa yang harus kulakukan dalam keadaan seperti ini?". Yang pertama umumnya berakhir dengan kematian, dan yang kedua banyak yang lolos dari lubang jarum kematian.
Menurut Rakhmat (dalam Zohar & Marshall, 2002), hal yang membedakan keduanya adalah pemberian makna. Pada manusia ada kebebasan yang tidak bisa dihancurkan bahkan oleh pagar kawat berduri sekalipun. Itu adalah kebebasan untuk memilih makna. Sambil mengambil pemikiran Freud tentang efek berbahaya dari represi dan analisis mimpinya, Frankl menentang Freud ketika dia menganggap dimensi spiritual manusia sebagai sublimasi insting hewani. Dengan landasan fenomenologi, Frankl membantah dan menjelaskan bahwa perilaku manusia tidak hanya diakibatkan oleh proses psikis saja. Menurutnya, pemberian makna berada di luar semua proses psikologis. Dia mengembangkan teknik psikoterapi yang disebut dengan Logoterapi (berasal dari kata Yunani "Logos" yang berarti makna.
Logoterapi memandang manusia sebagai totalitas yang terdiri dari tiga dimensi; fisik, psikis, spiritual. Untuk memahami diri dan kesehatan, kita harus memperhitungkan ketiganya. Selama ini dimensi spiritual diserahkan pada agama, dan pada gilirannya agama tidak diajak bicara untuk urusan phisik dan psikilogis. Kedokteran, termasuk psikologi telah mengabaikan dimensi spiritual sebagai sumber kesehatan dan kebahagiaan ( Rahmat, 2004).
Frankl menyebut dimensi spiritual sebagai noos yang mengandung semua sifat khas manusia, seperti keinginan kita untuk memberi makna, orientasi-orientasi tujuan kita, kreativitas kita, imajinasi kita, intuisi kita, keimanan kita, visi kita akan menjadi apa, kemampuan kita untuk mencintai di luar kecintaan yang phisik psikologis, kemampuan mendengarkan hati nurani kita di luar kendali superego, secara humor kita. Di dalamnya juga terkandung pembebasa diri kita atau kemampuan untuk melangkah ke luar dan memandang diri kita, dan transendensi diri atau kemampuan untuk menggapai orang yang kita cintai atau mengejar tujuan yang kita yakini. Dalam dunia sp iritual, kita tidak dipandu, kita adalah pemandu, pengambil keputusan. Semuanya itu terdapat di alam tak sadar kita. Tugas seorang logoterapis adalah menyadarkan kita akan perbendaharaan kesehatan spiritual ini.
Dalam hidup ini ada beberapa ancaman sebagai penyebab "kecemasan eksistensial", hal ini merupakan aspek terpenting yang menentukan apakah hidup kita bermakna atau hanya kesia-siaan, adalah pertama, kematian: kita semua adalah makhluk yang fana', kematian sewaktu-waktu akan dating menjemput kita. Kedua, takdir, garis kehidupan kita mungkin suatu kesengsaraan atau malapetaka, semuanya tidak bisa diramalkan atau dikendalikan. Ketiga, keharusan untuk membuat pilihan mengandung kecemasan eksistensial melalui setidaknya dengan tiga cara; a). kadang-kadang kita mesti menjatuhkan suatu pilihan tanpa informasi yang cukup, b). ketika mengambil keputusan, manusia cenderung untuk mencari bimbingan dari sumber transcendental yang lebih tinggi, c). menjatuhkan pilihan berarti mengabaikan pilihan lainnya (Abidin, 2002).
Frankl (dalam Schultz, 1991) berpendapat bahwa cara paling baik untuk mencapai makna hidup adalah mulai berkomitmen pada hal-hal di luar diri. Seseorang akan berbalik fokus pada dirinya sendriri ketika tidak menemukan arti dan tugas mereka di dunia. Menjadi sehat secara psikologis adalah bergerak keluar dari fokus diri, mengatasinya, menyerapinya dalam arti dan tujuan seseorang. Maka dengan demikian diri akan dipenuhi dan diaktualisasikan secara sponyan dan wajar. Secara umum sifat sesorang yang dapat menemukan makna hidupnya menurut Frankl adalah:
a. Mampu secara bebas memilih langkah tindakan mereka
b. Mampu secara pribadi bertanggung jawab terhadap tingkah laku hidup dan sikap yang dianutnya terhadap nasib.
c. Dalam segala tindakannya tidak dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan di luar dirinya
d. Menemukan arti peranannya dalam kehidupan yang sesuai dengannya.
e. Mampu secara sadar mengontrol kehidupannya sendiri.
f. Mampu mengungkapkan nilai-nilai daya cipta, nilai-nilai pengalaman, atau nilai-nilai sikap.
g. Mampu mengorientasikan diri terhadap tujuan-tujuan dan tugas-tugas yang akan datang.

Judul Skripsi Psikologi; Pengertian Kreativitas

 Lubart (Zimbardo, dkk, 1999) mengemukakan bahwa kreativitas merupakan suatu kemampuan seseorang di dalam menghasilkan ide-ide maupun produk baru dan sesuai dengan tuntutan keadaan, di mana ide-ide maupun produk tersebut dibutuhkan. Kemampuan itu dapat diterima dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat sekitar sebagai sesuatu yang wajar dan bukan sesuatu yang aneh dan tidak masuk akal, apabila ide-ide atau produk baru yang dihasilkan dianggap mampu memenuhi kebutuhan. Orang yang kreatif akan memiliki sikap, pemikiran dan perilaku kreatif apabila kemampuannya dipupuk sejak dini karena kreativitas merupakan suatu proses.
Kreativitas dapat berupa kegiatan imajinatif atau sintesis pemikiran yang mempunyai maksud dan tujuan yang jelas dan bukan fantasi (Hurlock, 1995). Oleh karena itu kreativitas tidak muncul dalam kehampaan tetapi tergantung pada perolehan pengetahuan yang diterima. Sejalan dengan pendapat tersebut Mart Sternberg (Woolfolk, 1995) mengatakan bahwa dengan memiliki pengetahuan yang handal akan membantu dalam memperoleh insight.
Kreativitas merupakan suatu perwujudan dari diri individu, suatu karya kreatif sebagai hasil kreativitas seseorang dapat menimbulkan suatu kepuasan pribadi yang tak terhingga. Dalam teori kebutuhan Maslow (1968) disebutkan bahwa dalam perwujudan diri manusia, kreativitas merupakan manifestasi dari individu yang memiliki fungsi penuh. Dari sini terlihat bahwa kreativitas penting untuk mengembangkan semua bakat dan keterampilan individu pengembangan prestasi hidupnya.
beberapa pernyataan yang digunakan untuk mendefinisikan pengertian. Kamus lengkap psikologi susunan Chaplin (1995) mendifinisikan kreativitas atau creativity sebagai kemampuan untuk menghasilkan bentuk baru di dalam seni atau permesinan atau dalam memecahkan masalah-masalah dengan kemampuan masing-masing.
Chandra (1994) menegaskan bahwa kreativitas adalah kemampuan mental dan berbagai jenis keterampilan khas manusia yang dapat melahirkan pengungkapan yang unik, berbeda, orisinal, sama sekali baru, indah, efisien, tepat sasaran dan tepat guna. Menurut Semiawan dkk (1984), kreativitas adalah potensi yang pada dasarnya dimiliki setiap orang, tentu dalam derajat yang berbeda-beda. Dengan arti lain setiap orang memiliki kemampuan untuk menjadi pemikir-pemikir yang kreatif tapi dengan tingkatan-tingkatan yang berbeda sesuai dengan kemampuan masing-masing. Kemampuan tersebut bergantung pada perolehan pengetahuan yang diterima. Sependapat dengan Semiawan dkk, Munandar (1999) juga mengatakan bahwa kreativitas merupakan bakat yang secara potensial dimiliki oleh setiap orang, yang dapat diidentifikasi dan dipupuk melalui pendidikan yang tepat.
Rogers (Munandar, 1999) juga menekankan bahwa kreativitas adalah kecenderungan untuk mengaktualisasikan diri, mewujudkan potensi, dorongan untuk berkembang dan menjadi matang, kecenderungan dalam mengekspresikan dan mengaktifkan semua kemampuan individu. Orang yang kreatif memiliki kebebasan berfikir dan bertindak. Kebebasan tersebut berasal dari diri sendiri, termasuk di dalamnya kemampuan untuk mengendalikan diri dalam mencari alternatif yang memungkinkan untuk mengaktualisasikan potensi kreatif yang dimiliki. Hal ini sejalan dengan pandangan Guilford yang mengungkapkan bahwa kreativitas adalah kemampuan berfikir divergen untuk menjajaki bermacam-macam alternatif jawaban terhadap suatu persoalan yang sama benarnya.
Menurut Maslow (Schultz, 1995) kreativitas merupakan suatu sifat yang akan diharapkan seseorang dari pengaktualisasi diri. Mereka adalah asli, inventif dan inovativ, meskipun tidak selalu dalam pengertian menghasilkan suatu karya seni. Kreativitas lebih merupakan suatu sikap, suatu ungkapan kesehatan psikologis dan lebih mengenai cara bagaimana kita mengamati dan bereaksi terhadap dunia dan bukan mengenai hasil-hasil yang sudah selesai dari suatu karya seni.
Tentang sifat-sifat kreativitas, Campbell (Nashori & Mucharam, 2002) mengemukakan bahwa kreativitas merupakan suatu kegiatan yang mendatangkan hasil yang sifatnya : Pertama, baru atau diartikan sebagai inovatif, tidak ada sebelumnya, segar, menarik, aneh dan mengejutkan. Kedua, berguna, bermanfaat atau useful, yang diartikan sebagai lebih enak, lebih praktis, mempermudah, mendorong, mengembangkan, mengatasi kesulitan, mendatangkan hasil yang baik. Ketiga, dapat dimengerti atau understandable, yaitu diartikan sebagai hasil karya yang tercipta atau dibuat dapat dimengerti orang lain contohnya ketika Sigmund Freud menjelaskan tentang struktur kepribadian yang terdiri atas Id, ego dan super ego orang lain dapat memahaminya sebagai penentu-penentu perilaku manusia