Senin, 27 Juli 2009

Judul Skripsi Komunikasi: KOMUNIKASI NON VERBAL

Skirt-Komunikasi non-verbal adalah penciptaan dan pertukaran pesan dengan tidak menggunakan kata-kata, komunikasi ini menggunakan gerakan tubuh, sikap tubuh, intonasi nada (tinggi-rendahnya nada), kontak mata, ekspresi muka, kedekatan jarak dan sentuhan-sentuhan. Salah satu cara mendefinisikan komunikasi non verbal adalah berdasarkan kategori sebagai berikut:
a. Proksemik
Proksemik merupakan penyampaikan pesan-pesan melalui pengaturan jarak dan ruang. Manusia mempunyai wilayah-wilayah atau zona dalam berkomunikasi, wilayah juga berarti daerah atau ruang yang rang klaim sebagai miliknya, yang seolah-olah merupakan perluasan dari tubuhnya, jarak wilayah itu sebagai berikut:
Zona intim, adalah zona yang dapat melakukan kontak fisik, dari jarak semua zona hanya zona inilah yang terpenting karena pada zona ini orang menjaganya seolah-olah zona ini milik pribadi. Hanya orang dekat secara emosional yang dapat memasukinya seperti kekasih, orang tua, suami-istri, anak-anak, kerabat dan sanak saudara. Umumnya berjarak 15-46 cm(bersentuhan-18 inch)
Zona pribadi, jarak ini dilakukan seperti pada saat kita dipesta-pesta, acara kantor dan lain sebagainya. Umumnya berjarak 46cm-1.2 m(18 inch-4ft)
Zona sosial, zona ini berlaku pada orang yang belum dikenal secara baik atau bahkan asing, seperti pada saat ditoko yang berbicara dengan pelayan toko. umumnya berjarak 1.2-3.6 m(4ft-12ft)
Zona umum, zona ini berlaku pada saat kita berbicara dengan sekelompok orang yang banyak seperti pidato. umumnya berjarak > 3.8 m(> 12 ft)
Semua zona itu dapat berubah-ubah tergantung dari keadaan, nilai, kepercayaan, budaya dan lain sebagainya. Dalam Agama Islam yang menjadi agama mayoritas di Indonesia, antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram (memiliki hubungan keluarga) diwajibkan menjaga jarak satu sama lain saat berkomunikasi dan biasanya tetap dalam jarak zona sosial 1.2-3.6 m bahkan ada syarat lain yaitu tidak boleh saling memandang dan harus ditemani orang lain.
b. Kinesik
Kinesik merupakan penyampaikan pesan-pesan yang menggunakan gerakan-gerakan tubuh yang berarti yang meliputi mimik wajah, mata (lirikan-lirikan), gerakan-gerakan tangan dan yang terakhir keseluruhan anggota badan (tegap, lemah gemulai dan sebagainya).
Dalam budaya jawa komunikasi non verbal sangat kental dilakukan terutama untuk menghormati orang, atau orang yang lebih tua, semisal gerakan komunikasi yang dilakukan antara atasan dan bawahan atau abdi di mana bawahan atau abdi cenderung untuk menunduk dan merunduk untuk menunjukkan bahwa posisinya tidak lebih tinggi dari tuannya yang diajak bicara.
c. Khronemik
Khronemik adalah srudi mengenai penggunaan kita akan konteks waktu. Ide mengenai kelinearan waktu telah diterima secara luas oleh masyarakat manapun bahkan agama manapun, hal ini kemudian melahirkan beberapa istilah sepertti masa lalu, saat ini dan masa depan yang merupakan suatu urutan yang tidak dapat dibalik.
Bagaimana kita menggunakan waktu sangat tergantung pada budaya, semisal dalam budaya Indonesia pada umumnya masih sangat jarang istilah on time benar-benar dijalankan dengan baik, semisal acara rapat dalam organisasi apapun memiliki kecenderungan untuk terlambat dari 10 menit sampai 1 jam.
d. Paralinguistik
Paralinguistik adalah pesan non-verbal yang berhubungan dengan cara mengucapkannya dengan kata lain tinggi rendahnya intonasi cara pengucapannya. Satu pesan verbal yang sama dengan menyampaikan arti yang berbeda bila diucapkan dengan cara yang berbeda.
Elemen-elemen komunikasi paralinguistik adalah sebagai berikut:
- Karakter vokal, seperti tertawa dan terisak
- Kualifikasi vokal seperti intensitas keras lemah, dan tinggi rendah
- Pemisahan vokal seperti uh, um, dan uhuh
Di Indonesia dalam kehidupan sehari-hari orang tua seringkali berkomunikasi dengan anaknya dengan nada tinggi bahkan cenderung menghardik, hal ini seringkali menjadi hambatan dalam komunikasi orang tua dan anak sehingga orang tua tidak mengerti permasalahan yang dihadapi anaknya. Di Indonesia sendiri memang dibudayakan bahwa komunikasi orang tua dan anak cenderung satu arah.
e. Diam
Diam juga seringkali digunakan dalam komunikasi. Diam bisa diartikan bermacam-macam semilsal persetujuan, sikap apatis, tahu, bingung, kontemplasi, ketidak setujuan, dan arti-arti lainnya.
Penggunaan diam dalam komunikasi masyarakat kita telah secara luas diterima semisal dalam komunikasi atasan dengan bawahan, seringkali bawahan lebih banyak melakukan komunikasi diam sedangkan atasan banyak menyampaikan pesan sehingga sikap diam bawahan dapat diartikan kepatuhan, dan persetujuan.
f. Haptik
Haptik adalah studi mengenai penggunaan sentuhan dalam komunikasi. Sekali lagi penggunaan sentuhan dalam komunikasi sangat berbeda pada setiap kebudayaan, antara Barat dan Timur sangat berbeda dalam memandang penggunaan sentuhan.
Sentuhan dalam komunikasi di Indonesia masih relatif jarang dipakai khususnya di daerah yang masih memegang adat-istiadat ketimuran di mana sentuhan antara laki-laki dan perempuan tidak diperbolehkan karena akan menjurus pada persepsi yang negatif pada pada komunikan. Si perempuan akan diangap sebagai perempuan murahan sedangkan laki-laki dapat dianggap sebagai penggoda.
g. Cara Berpakaian dan penampilan fisik
Umumnya pakaian digunakan untuk menyampaikan identitas komunikator, menyampaikan identitas berarti menunjukkan kepada orang lain bagaimana prilaku kita dan bagaimana sepatutnya orang lain memperlakukan kita.
Di Indonesia ketika seorang perempuan berpakaian minim seringkali dianggap sebagai cewek murahan, walaupun hal ini umumnya terjadi pada masyarakat pinggiran. Hal ini jelas akan menghambat komunikasi yang terjadi.
Contoh lain dalam budaya jawa pakaian priyayi berupa beskap sedangkan pakaian para abdi biasanya berupa pakaian surjan. Hal ini kemudian berimbas pada komunikasi yang terjadi antar golongan dan akan lebih menjadi sebuah hambatan daripada faktor pendorong.
h. Olefatik
Studi komunikasi melalui indra penciuman disebut sebagai olefatik. Bau masih merupakan suatu hal yang sangat susah dimengerti dalam komunikasi. Bau-bauan telah digunakan manusia untuk berkomunikasi secara sadar atau tidak. Sebagai contoh bila seseorang sedang dalam keadaan tegang maka akan mengeluarkan keringat yang yang mempunyai bau yang khas.
Contoh sehari-hari penggunaan bau dalam komunikasi adalah bau-bauan yang digunakan oleh PSK yang terkesan berlebihan. Penggunaan bau berlebihan ini seringkali dimaksudkan untuk mengundang calon pelanggan mereka untuk memanfaatkan jasanya.
i. Okulestik
Okulestik adalah studi komunikasi yang disampaikan melalui pandangan mata. Sebenarnya tidak banyak studi mengenai okulestik namun dapat dicontohkan dalam berbagai budaya bahwa pandangan menggoda wanita disiratkan melalui lirikan-lirikan mata dan kerlingan.
Dalam budaya timur khususnya agama Islam kontak mata langsung antara laki-laki dan perempuan tidak diperbolehkan. Hal ini biasnya juga disertai pelarangan dalam jarak dan sentuhan.

Judul Skripsi Sastra: Pendekatan Sosiologi Sastra Sebagai Alat Analisa Novel



1. Sosiologi Sastra
Sosiologi sebagai studi yang ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga-lembaga dan proses-proses sosial. Oleh karenanya sosiologi berusaha menjawab pertanyaan mengenai masyarakat dimungkinkan, bagaimana carakerjanya dan mengapa masyarakat itu bertahan hidup. Gambaran ini akan menjelaskan cara-cara manusia menyesuaiakan diri dengan ditentukan oleh masyarakat-masyarakat tertentu, gambaran mengenai mekanisme sosialisasi, proses belajar secara kultural, yang dengannya individu-individu dialokasikan pada dan menerima peranan-peranan tertentu dalam strutur sosial. Di samping itu sosiologi juga menyangkut mengani perubahan-perubahan sosial yang terjadi secara berangsur-angsur maupun secara revolusioner dengan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh perubahan tersebut (Damono, 1978).

2. Sasaran Penelitian Sosiologi Sastra
a. Konteks Sosial Pengarang
Konteks sosial sastrawan ada hubungannya dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Dalam bidang pokok ini termasuk juga faktor-faktor sosial yang dapat mempengaruhi karya sastranya. Oleh karena itu, yang terutama diteliti adalah sebagai berikut.
1) Bagaimana sastrawan mendapatkan mata pencaharian; apakah ia menerima bantuan dari pengayom atau dari masyarakat secara langsung atau bekerja rangkap.
2) Profesionalisme dalam kepengarangan; sejauh mana sastrawan menganggap pekerjaannya sebagai suatu profesi.
3) Masyarakat yang dituju oleh sastrawan. Dalam hal ini, kaitannya antara sastrawan dan masyarakat sangat penting sebab seringkali didapati bahwa macam masyarakat yang dituju itu menentukan bentuk dan isi karya sastra mereka (Damono, 1979: 3-4).
b. Sastra Sebagai Cermin Masyarakat
Sastra sebagai cermin masyarakat yaitu sejauh mana sastra dianggap sebagai mencerminkan keadaan masyarakatnya. Kata “cermin” di sini dapat menimbulkan gambaran yang kabur, dan oleh karenanya sering disalahartikan dan disalahgunakan. Dalam hubungan ini, terutama harus mendapatkan perhatian adalah.
1) Sastra mungkin dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ia ditulis, sebab banyak ciri masyarakat yang ditampilkan dalam karya sastra itu sudah tidak berlaku lagi pada waktu ia ditulis.
2) Sifat “lain dari yang lain” seorang sastrawan sering mempengaruhi pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya.
3) Genre sastra sering merupakan sikap sosial suatu kelompok tertentu, dan bukan sikap sosial seluruh masyarakat.
4) Sastra yang berusaha menampilkan keadaan masyarakat yang secermat-cermatnya mungkin saja tidak bisa dipercaya atau diterima sebagai cermin masyarakat. Demikian juga sebaliknya, karya sastra yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan keadaan masyarakat secara teliti barangkali masih dapat dipercaya sebagai bahan untuk mengetahui keadaan masyarakat. Pandangan sosial sastrawan harus diperhatikan apabila sastra akan dinilai sebagai cermin masyarakat (Damono, 1979: 4).
c. Fungsi Sosial Sastra
Pendekatan sosiologi berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti “Sampai berapa jauh nilai sastra berkait dengan nilai sosial?”, dan “Sampai berapa jauh nilai sastra dipengaruhi nilai sosial?” ada tiga hal yang harus diperhatikan.
1) Sudut pandang yang menganggap bahwa sastra sama derajatnya dengan karya pendeta atau nabi. Dalam pandangan ini, tercakup juga pandangan bahwa sastra harus berfungsi sebagai pembaharu dan perombak.
2) Sudut pandang lain yang menganggap bahwa sastra bertugas sebagai penghibur belaka. Dalam hal ini gagasan-gagasan seni untuk seni misalnya, tidak ada bedanya dengan usaha untuk melariskan dagangan agar menjadi best seller.
3) Sudut pandang kompromistis seperti tergambar sastra harus mengajarkan dengan cara menghibur (Damono, 1979: 4).
Apabila dikaitkan dengan sastra maka terdapat tiga pendekatan; Pertama, konteks sosial pengarang. Hal ini berhubungan dengan sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Dalam pokok ini termasuk pula faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi pengarang sebagai perseorangan di samping mempengaruhi isi karya sastranya. Hal yang terutama di teliti dalam pendekatan ini adalah: (a) bagaimana pengarang mendapatkan mata pencaharian (b) sejauh mana pengarang menganggap pekerjaannya sebagai profesi dan (c) mayarakat yang dituju oleh pengarang. Kedua, sastra sebagai cermin masyarakat. Hal yang terutama di teliti dalam pendekatan ini adalah (a) sejauh mana sifat pribadi pengarang mempengaruhi gambaran masyarakat yang ingin disampaikan (c) sejauh mana genre sastra yang digunakan pengarang dapat mewakili seluruh masyarakat. Ketiga, fungsi sosial sastra. Dalam hubungan ini ada tiga hal yang menjadi perhatian (a) sejauh mana sastra dapat berfungsi sebagai perombak masyarakatnya (b) sejauh mana pengarang hanya berfungsi sebagai penghibur saja dan (c) sejuah mana terjadi sintesis antara kemungkinan point a dan b diatas (Damono, 1978).
Secara epitesmologis dapat dikatakan tidak mungkin untuk mebangun suatu sosiologi sastra secara general yang meliputi pendekatan yang dikemukakan itu. Konsep mengenali masyarakat akan berbeda satu dengan yang lain. Dalam penelitian novel ”Sang Pemimpi” karya Andrea Hirata ini maka konsep sosiologi sastra akan menggunakan pendekatan sastra sebagai cermin masyarakat. Hal ini akan digunakan untuk menjelaskan sejauh mana pengarang dapat mewakili dan menggambarkan seluruh masyarakat dalam karyanya.

3. Sastra dan Masyarakat
Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat (Semi, 1990: 73). Sastra dapat dikatakan sebagai cerminan masyarakat, tetapi tidak berarti struktur masyarakat seluruhnya tergambarkan dalam sastra, yang didapat di dalamnya adalah gambaran masalah masyarakat secara umum ditinjau dari sudut lingkungan tertentu yang terbatas dan berperan sebagai mikrokosmos sosial, seperti lingkungan bangsawan, penguasa, gelandangan, rakyat jelata, dan sebagainya. Sastra sebagai gambaran masyarakat bukan berarti karya sastra tersebut menggambarkan keseluruhan warna dan rupa masyarakat yang ada pada masa tertentu dengan permasalahan tertentu pula.
Novel merupakan salah satu di antara bentuk sastra yang paling peka terhadap cerminan masyarakat. Menurut Johnson (Faruk, 2005: 45-46) novel mempresentasikan suatu gambaran yang jauh lebih realistik mengenai kehidupan sosial. Ruang lingkup novel sangat memungkinkan untuk melukiskan situasi lewat kejadian atau peristiwa yang dijalin oleh pengarang atau melalui tokoh-tokohnya. Kenyataan dunia seakan-akan terekam dalam novel, berarti ia seperti kenyataan hidup yang sebenarnya. Dunia novel adalah pengalaman pengarang yang sudah melewati perenungan kreasi dan imajinasi sehingga dunia novel itu tidak harus terikat oleh dunia sebenarnya.
Sketsa kehidupan yang tergambar dalam novel akan memberi pengalaman baru bagi pembacanya, karena apa yang ada dalam masyarakat tidak sama persis dengan apa yang ada dalam karya sastra. Hal ini dapat diartikan pula bahwa pengalaman yang diperoleh pembaca akan membawa dampak sosial bagi pembacanya melalui penafsiran-penafsirannya. Pembaca akan memperoleh hal-hal yang mungkin tidak diperolehnya dalam kehidupan. Menurut Hauser (Ratna, 2003: 63), karya seni sastra memberikan lebih banyak kemungkinan dipengaruhi oleh masyarakat, daripada mempengaruhinya.
Sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat, sebenarnya erat kaitannya dengan kedudukan pengarang sebagai anggota masyarakat. Sehingga secara langsung atau tidak langsung daya khayalnya dipengaruhi oleh pengalaman manusiawinya dalam lingkungan hidupnya. Pengarang hidup dan berelasi dengan orang lain di dalam komunitas masyarakatnya, maka tidaklah heran apabila terjadi interaksi dan interelasi antara pengarang dan masyarakat.
Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan mengapa sastra memiliki kaitan erat dengan masyarakat dan dengan demikian harus diteliti dalam kaitannya dengan masyarakat, sebagai berikut.
Karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh penyalin, sedangkan ketiga subjek tersebut adalah anggota masyarakat.
1. Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap espek-aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat, yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat.
2. Medium karya sastra, baik lisan maupun tulisan, dipinjam melalui kompetensi masyarakat, yang dengan sendirinya telah mengandung masalah-masalah kemasyarakatan.
3. Berbeda dengan ilmu pengetahuan, agama, adat-istiadat, dan tradisi yang lain, dalam karya sastra terkandung estetika, etika, bahkan juga logika. Masyarakat jelas sangat berkepentingan terhadap ketiga aspek tersebut.
4. Sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas, masyarakat menentukan citra dirinya dalam suatu karya (Ratna, 2006: 322-333).
Gambaran kehidupan yang terpancar dalam novel akan memberikan pengalaman baru bagi masyarakat atau pembaca, karena apa yang ada dalam masyarakat tidak sama persis dengan apa yang ada dalam karya sastra. Melalui penafsirannya, pembaca akan memperoleh hal-hal yang mungkin tidak diperolehnya dalam kehidupan.
Dengan demikian, dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra adalah salah satu pendekatan untuk mengurai karya sastra yang mengupas masalah hubungan antara pengarang dengan masyarakat, hasil berupa karya sastra dengan masyarakat, dan hubungan pengaruh karya sastra terhadap pembaca. Namun dalam kajian ini hanya dibatasi dalam kajian mengenai gambaran pengarang melalui karya sastra mengenai kondisi suatu masyarakat.

Judul Skripsi Sastra: PENDEKATAN STRUKTURAL DALAM ANALISA NOVEL



Pendekatan struktural dapat pula disebut dengan pendekatan intrinsik, yakni pendekatan yang berorientasi kepada karya sebagai jagadyang mandiri terlepas dari dunia eksternal di luar teks. Analisis ditujukan kepada teks itu sendiri sebagai kesatuan yang tersusun dari bagian-bagianyang saling berjalin dan analisis dilakukan berdasar pada parameterintrinsik sesuai dengan keberadaan unsur-unsur internal (Siswantoro,2005:19).Analisis struktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkansecermat, seteliti, semendetail dan semendalam mungkin keterkaitan danketerjalinan semua anasir dan aspek karya sastra yang bersama-samamenghasilkan makna menyeluruh (Teeuw, 1984:135).
Menurut Siswantoro (2005: 20) pendekatan struktural membedah novel, misalnya, dapat terlihat dari sudut plot, karakter, setting, point ofview, tone, dan theme serta bagaimana unsur-unsur itu saling berinteraksi akhir cerita akan pas, sesuai, dan memuaskan berkat keberadaan tema.Adapun cara yang paling efektif untuk mengenali tema sebuah karya adalah dengan mengamati secara teliti setiap konflik yang ada di dalamnya(Stanton, 2007: 37-42).Secara umum, alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalamsebuah cerita. Istilah alur biasanya terbatas pada peristiwa-peristiwa yangterhubung secara klausal saja. Dua elemen dasar yang membangun alur adalah konflik dan klimaks. Setiap karya fiksi setidak-tidaknya memiliki ‘konflik internal’ (yang tampak jelas) yang hadir melalui hasrat dua orang karakter atau hasrat seorang karakter dengan lingkungannya. Klimaks adalah saat ketika konflik terasa sangat intens sehingga ending tidak dapatdihindari lagi. Klimaks merupakan titik yang mempertemukan kekuatan-kekuatan konflik dan menentukan bagaimana oposisi tersebut dapatterselesaikan (Stanton, 2007: 26-32)Mengenai tokoh, Semi (1988: 39) menjelaskan bahwa pada umumnya fiksi mempunyai tokoh utama (a central character), yaitu orangyang ambil bagian dalam sebagian besar peristiwa dalam cerita, biasanya peristiwa atau kejadian-kejadian itu menyebabkan terjadinya perubahan sikap terhadap diri tokoh atau perubahan pandangan kita sebagai pembaca terhadap tokoh tersebut. Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalamcerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung. Latar juga dapat berwujud waktu-waktu tertentu (hari, bulan,dan tahun), cuaca, atau satu periode sejarah (Stanton, 2007:35). Pembahasan struktur novel ini hanya terbatas pada masalah tema, tokoh, dan konflik. Alasannya adalah bahwa ketiga unsur tersebut sesuai dengan tujuan penelitian dan objek yang dikaji yaitu analisis mengenai konflik batin tokoh utama.
.Menurut Nurgiyantoro (2007:37), langkah-langkah dalam menerapkan teori strukturalisme adalah sebagai berikut.
i. mengidentifikasikan unsur-unsur intrinsik yang membangun karyasastra secara lengkap dan jelas meliputi tema, tokoh, , dan konflik
ii.mengkaji unsur-unsur yang telah diidentifikasi sehingga diketahuibagaimana tema, tokoh, latar, dan alur dari sebuah karya sastra;
iii.mendeskripsikan fungsi masing-masing unsur sehingga diketahui tema,tokoh, latar, dan alur dari sebuah karya sastra, dan
iv.menghubungkan masing-masing unsur sehingga diketahui tema, tokoh,latar, dan alur dalam sebuah karya sastra.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam analisis karya sastra, dalam hal ini novel, dapat dilakukan dengan terlebih dahulu mengidentifikasi, mengkaji, mendeskripsikan fungsi dan kemudian menghubungkan antara unsur intrinsik yang bersangkutan. Lihat dalam novel pilihan anda apa yang paling menonjol serta menjadi kelebihan dari novel lainnya dari pengarang yang sama atau novel dengan tema yang sama. Tuangkan dalam latar belakang serta identifikasi masalah. Selanjutnya ini akan dasar untuk mengkaji novel pilihan anda

Judul Skripsi Hubungan Internasional: TEORI PEMILIHAN UMUM DALAM SUATU KARAKTERISTIK PEMILIH DAN KARAKTERISTIK FIGUR CALON PEMIMPIN



Dalam penjelasan fenomena pemilihan umum seperti yang dijabarkan di bawah ini lebih melihat bagaimana faktor-faktor karakteritik pemilih dan karakteristik figur calon pemimpun akan mempengaruhi jalannya pemilhan umum. Suatu kemenangan calon pemimpin merupakan suatu perwujudan dari fenomena bahwa pemenang pemilu merupakan pihak yang mendapatkan dukungan mayoritas rakyat. Hal ini berlaku juga bagi pihak yang pada akhirnya disebut sebagai pihak yang kalah adalah pihak yang tidak mendapatkan mayoritas dukungan suara. Hal ini disebabkan pihak yang kalah dianggap tidak dapat menjadi jembatan antar suara rakyat dan pemerintah sedangkan pemenang pemilu merupakan tokoh/organisasi yang dianggap mampu menyuarakan keinginan rakyat atau sebagai alat artikulasi suara rakyat .
Oleh karenanya dalam pemilu maka suara mutlak adalah suara pemilih yang dalam hal ini adalah rakyat. Dalam setiap negara akan memiliki karakteristik pemilih yang berbeda pula. Hal ini seiring dengan perbedaan secara sosiologi politik dari karakteristik rakyat. Misalkan; Iran yang lebih menonjul dipengaruhi adanya kubu reformis dan konservatif; Venezuela yang dipengaruhi oleh masyarakat lapisan atas dan bawah dan di Bolivia yang dipengaruhi oleh suatu gerakan masyarakat petani (cocaleros) yang bergabung dengan kelompok pekerja lainnya.
Menurut Bone dan Ranney, rakyat dapat dibagi menjadi enam golongan berdasarkan aktivitas politiknya. Pertama aktivis partai politik, kelompok ini merupakan kumpulan dari orang-orang yang secara teratur mencurahkan tenaga dan pikirannya pada aktivitas politik seperti pemimpin partai politik dan pemimpin LSM politik, kelompok ini hanya berjumlah lebih kurang 0,25% dari populasi masyarakat dewasa. Kedua kontributor organisasi politik, terdiri dari orang-orang yang merupakan anggota aktif partai politik atau LSM politik, kelompok ini berjumlah kurang lebih 5% dari populasi orang dewasa. Ketiga pemimpin opini politik, kelompok ini merupakan orang-orang yang dalam kesehariannya menjadi pemimpin diskusi politik dengan keluarganya, kerabatnya, dan rekan-kerjanya, mereka umumnya berjumlah kurang lebih 25% dari populasi orang dewasa. Keempat pemilih, kelompok ini lah yang benar-benar sadar dan selalu menggunakan hak politiknya untuk melakukan dan mengikuti pemilihan umum, mereka umumnya berjumlah kurang lebih 25-35% dari populasi orang dewasa. Kelima bukan pemilih, kelompok ini terdiri dari orang-orang yang sangat jarang bahkan hampir tidak pernah menggunakan hak pilihnya namun masih memiliki ketertarikan pada percaturan politik yang terjadi, mereka umumnya berjumlah kurang lebih 30-40% dari populasi orang dewasa. Keenam kelompok apatis, kelompok ini benar-benar acuh tak acuh terhadap aktivitas politik yang terjadi di masyarakat, mereka umumnya berjumlah kurang lebih 3-7% dari populasi orang dewasa.
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkah laku dalam memilih selain faktor umum seperti status sosio ekonomi, agama, pengaruh keluarga, dan lain-lain juga dipengaruhi oleh tiga hal utama. Pertama identitas partai, dalam suatu sistem demokrasi biasanya rakyat sudah mengelompokkan diri Kedua orientasi isu, terminologi ini digunakan untuk menggambarkan kecenderungan keberpihakan masyarakat pemilih terhadap isu-isu tertentu. Dukungan pemilih terhadap kandidat presiden juga dipengaruhi oleh bagaimana kandidat menyikapi isu tersebut. Ketiga orientasi kandidat, terminologi ini digunakan untuk menggambarkan kualitas instrumental kandidat seperti kemampuan kandidat dalam diplomasi luar negeri, pembangunan ekonomi dan sebaginya menurut pandangan para pemilih serta menggambarkan kualitas simbolik kandidat tersebut berdasarkan sifat kesehariannya (bukan berdasar apa yang dilakukannya) seperti kerendahan hati, kesederhanaan, dan sebagainya.
Keterwakilan rakyat terhadap tokoh sangat tergantung pada karakter (orientasi kandidat) dari tokoh ini sendiri dan analisa karakterisasi tokoh dapat menggunakan teori “the importance of individual and role variables”. Analisa ini mengarahkan kita bagaimana karakterisasi tokoh dapat mempengaruhi pengambilan keputusan atau bahkan tanpa terlibat langsung dalam proses pengambilan keputusan. Peran individu dalam momen sejarah suatu bangsa dapat dilihat dari fungsi-fungsi individu (kualitas simbolik) mereka yaitu bakat, penampilan, dan latar belakang.
“Lacking a clear-cut conception of relative potency, many observers find it easier to fall back on the notion that each moment of history is function of individuals – their talents, outlooks, and background – who made it, than to consider the possibility that the action of the moment arrases out of consideration which any individual – or at least any within a wide range of talent, outlooks, and background – would have found impelling. Thus research tend to focus upon the attitude and capabilities they bring to that rules than on the attitude demands and behavioral which that rules makes of them “

Kunci analisa terhadap behavioural individu ditekankan pada dua hal yaitu sifat-sifat yang melekat dan menjadi karaterisitik individu tersebut serta tekanan atau tuntutan yang ditimbulkan dari posisi politik individu . Karateristik individu meliputi latar belakang pendidikan, kelas sosial, karir politik, kesehatan fisik .
“By an individual variable is meant any aspect of an factors which characterizes him prior to his assumption of policy making responsibilities and which did not necessarily characterize any other person who might have occupied through election, appointment or other means....A role variables refers to any aspect of the actor derived from his policy making responsibilities and which is expected to characterize any person who fills the same position”.

Hal lain yang perlu diingat dalam penggunaan analisa berdasarkan profil individu mempunyai variasi pada setiap kasus dimana karateristik yang sama dalam kondisi lingkungan yang berbeda atau kebalikannya, karaterisitik berbeda dengan lingkungan sama belum tentu akan memberikan hasil yang tidak sama. Masih banyak faktor lain yang dapat mempengaruhi suatu hasil pemilihan umum. Namun satu hal pasti adalah pemilihan umum merupakan proses berpolitik yaitu mendapatkan atau melanggengkan kekuasaan. Suatu cara yang bisa disebut dengan ”permainan politik” akan selalu dijalankan untuk mendapatkan atau melanggengkan kekuasaan. namun apabila rakyat ”pintar”, apapun permainan politik yang dijalankan maka pemilih akan menggunakan akal terang untuk melihat bagaimana calon pemimpinnya.

Judul Skripsi Linguistik: FONETIK ARTIKULATORIS DALAM BAHASA JAWA



Menurut R.H Robbins (1992) inti dari wicara adalah gerakan yang dilakukan seseorang dimulai dari diagram dan melibatkan berbagai bagian dari dada, kerongkongan, mulut dan saluran hidung menciptakan getaran pada udara di sekelilingnya dan alam jarak yang terbatas daro orang itu, getaran tadi dapat ditangkap oleh gendang suara dalam pendengaran. Melalui gendering pendengaran tersebut diterima oleh otak pendengar. Jika pendengaran dan orang itu termasuk masyarakat bahasa yang sama, pendengaran dapat memberi respon ekapada dan mengerti getaran atau bunyi itu. Kajian fonetik artikulatoris, wicara bias dikaji teruatam sebagai aktivitas penutur berkenaan dengan alat-alat artikulatoris an proses yang terlibat dalam aktivitas itu.
Fonem vokal bahasa Jawa berjumlah enam buah yaitu /i, e, ә, a, u o/. berdasarkan ketinggian lidah pada waktu pengucapannya, keenam fonem vocal tinggi /i, u/; madya e/, ә, o/; dan rendah /a/ berdasarkan bagian lidah yang bergerak waktu diucapkan, fonem vocal dapat dibagi menjadi tiga macam yaitu vocal depan /i, e/; tengah ә, a/ dan waktu diucapkan, fonem vocal dapat dibagi menjadi empat yaitu vokal tertutup /i, u/; semi tertutup /e, o/; semi terbuka /ә/ dan terbuka /a/. berdasarkan bentuk bibir pada waktu diucapkan fonem vokal dapat dibagi menjadi dua yaitu vokal tak bulat /i.,e, ә,a/ dan bulat /u,o/.

Judul Skripsi Psikologi: Penyusunan Skala Psikologi sebagai Alat Ukur (Tips Penyusunan Penelitian Kuantitatif)



Bagi para mahasiswa yang akan menyusun sebuah skala baik dalam bidang psikologi maupun ilmu-ilmu lainnya seperti kedokteran maupun pendidikan, skala akan menentukan bagaimana kelanjutan sebuah penyusunan naskah penelitian yaitu bagian analisa dan pembahasan. Pada akhirnya skala akan membantu anda untuk mendapatkan jawaban dari rumusan masalah dikaitkan dengan data lapangan yang telah anda peroleh. Boleh dibilang skala merupakan ”nyawa” dari sebuah penelitian psikologi karena disinilah merupakan titik tengah yang menetukan apakah proposal dan pembahasan relevan.
Semakin tepat isi skala yang anda susun maka item pertanyaan bisa digunakan sebagai jawaban rumusan permasalahan dalam penelitian. Tapi jika tidak maka skala tidak bisa digunakan sebagai alat ukur yang menjawab rumusan masalah. Pemahaman secara mudah untuk mengukur apakah skala yang anda susun tepat atau tidak maka didasarkan pada relevansi item pada skala dengan jawaban di rumusan permasalahan.
Untuk menyusun skala yang tepat maka anda harus memberikan ketepatan pula dalam teori yang anda gunakan. Artinya suatu skala yang umumnya dicantumkan dalam metode penelitian tidak bisa terlepas dari tinjauan pustaka yang anda susun sebelumnya. Bagaimana pengertiannya? Apa aspeknya? Bentuk, karakteristik dan lain sebagainya. Ke semuanya akan membantu skala yang anda akan susun. Tidaklah mungkin suatu skala disusun tanpa kelengkapan tinjauan pustaka. Semakin lengkap anda menyusun tinjauan pustaka maka semakin mudah anda menyusun skala.
Bila sudah mencapai tahap penyusunan suatu skala, maka anda harus mengerti beberapa karakteristik skala sehingga skala anda akan semakin tepat (Azwar, 1997). Karakteristik tersebut adalah:
1. Stimulusnya berupa pertanyaan atau pernyataan yang tidak langsung mengungkap atribut yang hendak diukur melainkan mengungkap indikator perilaku dari atribut yang bersangkutan.
2. Dikarenakan atribut diungkap secara tidak langsung lewat indikator-indikator perilaku sedangkan indikator perilaku diterjemahkan dalam bentuk aitem-aitem, maka skala psikologi selalu berisi banyak aitem.
3. Respon subyek tidak diklasifikasi sebagai jawaban ”benar” atau ”salah”. Semua jawaban dapat diterima sepanjang diberikan secara jujur dan sungguh-sungguh. Hanya saja, jawaban yang berbeda akan di interpretasikan berbeda pula.
Ketidaktepatan suatu skala dalam mengungkapkan jawaban bagi rumusan masalah dapat diungkapkan dalam analisa validitas Validitas adalah seberapa jauh alat ukur dapat mengungkapkan dengan tepat dan dapat menunjukkan dengan sbenarnya gejala-gejala atau bagian dari gejala yang hendak diukur. Suatu alat ukur dapat memiliki validitas tinggi apabila alat tersebut mampu memberikan hasil ukur yang sesuai dengan tujuan diadakannya pengukuran pada alat penelitian tersebut (Kerlinger dalam Arikunto, 1989). Beberapa hal yang menyebabkan validitas lemah adalah :
1. identifikasi kawasan ukur yang tidak jelas
2. operasionalisasi konsep yang tidak tepat
3. penulisan aitem yang tidak mengikuti kaidah
4. administrasi skala yang tidak berhati-hati yang berarti tampilan skala, kondisi subjek, kondisi testing
5. pemberian skor yang tidak cermat
6. interprestasi yang keliru

Judul Skripsi Linguistik: IKONISASI DALAM LINGUISTIK

Ikonitas (iconity) adalah perihal ikon. Kata ikon berasal dari bahasa Latin yaitu icon yang berarti arca atau patung (Prent. 1969) atau gambar atau patung yang menyerupai contohnya (Verhoeven. 1969). Kata ikon selanjutnya dipakai oleh Pierrce sebagai istilah semiotika yaitu untuk menyebut tanda yang penandanya memiliki hubungan kemiripan dengan obyek yang diacunya. Kata ikon kemudian dipakai dalam linguistik dengan arti “to refer to signals mhose physical form closely correspondens to characteristic to which they refers” (Crystal. 1980) yang dapat iartikan sebagai untuk menyebut tanda yang bentuknya fisiknya memiliki kaitan yang erat dengan sifat khas dari apa yang diacunya (Sudaryanto, 1989).
Kaitan erat yang dimaksud dalam definisi tersebut adalah kemiripan (resemblance) atau mencerminkan (to reflect) dan apa yang dimaksud dengan apa yang diacunya adalah realitas (reality) (Haiman, 1985), isi tuturan atau isi wicara (content) (Sudaryanto, 1995) atau situasi (situation) (Verhaar, 1977). Dengan demikian pengertian ikon dalam linguistik dapat dirumuskan dengan lebih tegas yaitu satuan lingual yang bentuknya mirip dengan realitas yang diacunya atau satuan lingual yang bentuknya mencerminkan realitas yang diacunya.
Agar pengertian ikon lebih jelas lagi maka konsep “realitas” dan konsep ”mirip” atau ”mencerminkan” akan diuraikan lebih lanjut.pengertian realitas yang terkandung dalam ikon tidak sama dengan pengertian relitas yang dikemukakan oleh Chomsky. Pengertian realitas yang dimaksud oleh Chomsky semata-mata mengacu pada konsep dalam pikiran yang tidak ada kaitannya dengan dunia nyata yang berada di luar pikiran. Chomsky (1981) menyatakan bahwa “our interpretation of the world is based in part on representational system that derive from the structure of the mind it self and do not mirror in any direction the form of things in external world....”. pengertian realitas yang dikemukakan oleh Chomsky terlalu rasionalistic atau subjektif sehingga menihilkan realitas diluar pikiran manusia.
Pengertian realitas dalam ikon juga tidak sama dengan pengertian petanda yang dikemukakan oleh Saussure. Petanda, menurut Saussure adalah konsep (concept) yang bersama-sama penanda yang merupakan citra akustis (image acoustique) membentuk tanda bahasa (Saussure.1988). Dengan demikian pengertian petanda menurut Saussure sama dengan pengertian realitas menurut Chpmsky, yaitu semata-mata konsep dalam pikiran manusia yang tidak ada kaitannya dengan dunia nyata. Lebih-lebih Saussure memiliki pandangan bahwa dunia penanda dan dunia petanda di satu pihak dan dunia nyata di pihak lain masing-masing bersifat otonom.
Chomsky dan Saussure sama-sama memandang bawa bahasa itu bersifat diadis (dyadic) yaitu hanya merupakan perpduan unsur-unsur internalnya (bentuk dan makna) dan tidak memiliki kaitan apapun dengan unsur ekstenalnya yang disebut realitas. Hal ini berbeda dengan pandangan terhadap bahasa yang terkandun dalam konsep ikon. Dalam konsep ikon terkandung pemahaman bahwa bahasa itu bersifat triadik (triadic) yaitu bahasa merupakan relasi, makna dan realitas.
Van Peursen (1990) mengemukakan bahwa realitas bukanlah benda keras yang diambil dari tanah. Ini berarti bahwa yang disebut realitas bukan semata suatu benda konkret, melainkan juga sesuatu yang bastrak. Realitas mencakup sesuatu yang ada di luar pikiran dan sesuatu yang ada di dalam pikiran. Realitas mencakup apa yang disebut realitas material dan realitas substansial (Sudaryanto. 1995). Dalam hal ini realitas juga mencakup apa yang disebut dengan realitas objektif dan realitas subjektif atau realitas transendens dan realitas transcendental (Van Peursen. 1990).
Realitas memang aspek eksternal bahasa, tapi hal itu tidak dapat dipisahkan dari realitas subjektif. Hal ini disebabkan proses penyerapan terhadap sesuatu al harus melalui konseptualisasi atau referensi menurut Odgen dan Richard (1989) atau subjeketifikasi menurut Langacker (1990). Karena demikian bentuk lingual yang mencerminkan realitas objektif tentu juga mencerminkan realitas subjektif, tetapi bentuk lingual yang mencerminkan realitas subjektif tidak tentu mencerminkan relitas objektif. Atau dasar hal tersebut, bentuk lingual yang mencerminkan realitas dapat dibedakan dua macam, yaitu (i) bentuk lingual yang mencerminkan realitas objektif (yang sekaligus mencerminkan realitas subjektif) dan (ii) bentuk lingual yang mencermikan realitas subjektif semata-mata. Ke dua macam bentuk lingual jenis pertama yang mencerminkan realitas objektif (yang sekaligus mencerminkan realitas subjektif) dengan sendirinya lebih ikonis daripada bentuk lingual jenis kedua, yang hanya mencerminkan realitas subjektif. Dalam hal ini, sifat ikonis bentuk lingual lantas tidak bersifat bier atau diskret, melainkan bersifat rentangan atau derajat.
Kemudian kata mirip atau mencerminkan dalam ikon berarti bahwa bentul lingia; dan realitas yang digambarkan harus persis sama dan sempurna. Menurut Haiman (1985) tidak ada ikon yang sempurna. Ikon cenderung mereduksi dan menyerdahanakan realitas yang digambarkan. Di samping itu bukan semata-mata kopi dari realitas. Bahasa juga merupakan hasil dari kreatifitas pemiliknya dalam menggambarkan realitas (Simone. 1995)

Metode Analisa Data: PENELITIAN EKSPERIMEN SERTA PENELITIAN SEPERTI EKSPERIMEN

Penelitian eksperimen adalah observasi objektif terhadap suatu fenomena yang dibuat agar terjadi dalam suatu kondisi yang terkontrol ketat, dimana satu atau lebih factor divariasikan dan factor lain yang dibuat constan. Terdapat tiga syarat utama yaitu manipulasi, kontrol dan randomisasi.Secara singkat, maka dapat dikatakan bahwa penelitian eksperimen dimana minimal salah satu variable dimanipulasi untuk mempelajari hubungan sebab-akibat.[1] Sedangkan pengertian dari manipulasi sendiri adalah memberikan perlakuan atau mengkondisikan keadaan/kejadian yang berbeda dalam subjek penelitian.
Apa yang terjadi apabila suatu penelitian membutuhkan desain eksperimental namun kondisinya tidak bisa dikontrol. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya penelitian seperti eksperimen. Berikut merupakan desain penelitian seperti penelitian seperti eksperimen.

1. Eksperimen Kuasi (Quasi Experiment)
Ekperimen Kuasi bukan merupakan eksperimen murni tetapi seperti murni. Eksperimen ini disebut juga dengan metode semu.. Eksperimen kuasi bisa saja digunakan apabila minimal dapat mengatur hanya satu variable saja meskipun dalam bentuk matching, atau memasangkan/menjodohkan karakteristik, kalau bisa random lebih baik. [2] Metode ini masih menggunakan kelompok kontrol seperti metode eksperimen namun tidak menggunakan pengambilan kelompok secara acak namun berpasangan
Keunggulan dari metode ini adalah dapat dilaksanakan bahkan di penelitian yang berlangsung dalam kondisi dimana pengontrolan terhadap variabel sangat sulit sehingga kemungkinan sukar untuk melakukan eksperimen murni Sementara kelemahan dari metode ini adalah adanya pengontrolan variable yang lemah menyebabkan karakteristik dalam satu kelompok perlakuan tidak bisa dibuat sama atau disamakan.

2. Eksperimen Lemah atau Pra eksperimen
Eksperimen lemah atau pra eksperimen adalah penelitian yang tidak menggunakan sama sekali penyamaan karakteristik (random) dan tidak ada pengontrolan variabel. Dalam model desain penelitian ini maka kelompok tidak diambil secara acak atau berpasangan, tidak ada kelompok pembanding tapi diberi tes awal dan tes akhir.
Desain metode ini paling lemah maka tidak disarankan untuk digunakan dalam penelitian ilmih setingkat skripsi, tesis maupun disertasi tapi masih boleh digunakan dalam penelitian latihan saja.



3. Eksperimen Subjek Tunggal
Dalam eksperimen subjek tunggal maka eksperimen dilakukan terhadap subejk tunggal dengan menggunakan variasi bentuk murni, kuasi dan lemah. Perbedaan antar kelompok dihitung berdasarkan skor rata-rata antar kelompok tersebut. Pendekatan dasar dalam eksperimen subjek tunggal adalah meneliti individu dalam kondisi tanpa perlakuan dan kemudian dengan perlakuan dan akibatnya terhadap variabel akibat diukur dalam kedua kondisi tersebut. Agar memiliki validitas internal yang tinggi maka desain tersebut harus memperhatikan pengukuran yang ajeg, berulang-ulang, adanya deskripsi kondisi, garis dasar, kondisi perlakuan, rentang dan stabilitas yang relatif sama serta variabel yang diubah hanya satu.

[1] Liche Seniati, Aries Yulianto, Bernadette N Setiadi, Psikologi Eksperimen, Penerbit Indeks, Jakarta, 2005
[2] Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2008

Judul Skripsi Politik, Hubungan Internasional; TEORI UMUM DALAM KEBIJAKAN POLITIK



Kebijakan politik adalah segala sesuatu hasil keputusan baik berupa dalam sistem. Kebijakan selalu berhubungan dengan keputusan-keputusan pemerintah yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat melalui instrument-instrumen kebijakan yang dimiliki oleh pemerintah berupa hukum, pelayanan, transfer dana, pajak dan anggaran-anggaran serta memiliki arahan-arahan yang bersifat otoritatif untuk melaksanakan tindakan-tindakan pemerintahan di dalam yurisdiksi nasional, regional, unisipal, dan local.
Teori Sistem Politik
Kebijakan publik dipandang sebagai respons sistem politik terhadap tuntutan yang muncul dari lingkungannya. Oleh karenanya teori ini digunakan untuk menganalisa perubahan dalam suatu sistem politik yang kemudian akan menghasilkan kebijakan yang berbeda. Perlu digaris bawahi bahwa sistem politik memuat mengenai pergantian kepimpinan namun tidak secara mendetail. Bagi kasus yang lebih menganalisa perubahan kebijakan pergantian kepimpinan lebih baik menggunakan teori rational choice.
a) Sistem politik terdiri atas institusi dan aktivitas yang saling berkaitan dalam masyarakat yangmembuat alokasi otoritatif dari nilai-nilai yang mengikat masyarakat
b) Inputs ke dalam sistem politik berasal dari lingkungan dan terdiri atas tuntutan (demands) dan dukungan (supports).
c) Outputs dari sistem politik mencakup undang-undang, aturan, keputusan pengadilan dan lain-lain.
d) Feedbacks menunjukkan bahwa outputs atau kebijakan publik yang dibuat pada satu saat tertentu pada gilirannya dapat mengubah lingkungan dan tuntutan yang akan muncul berikutnya, dan juga, karakter sistem politik itu sendiri.
Teori Kelompok (Group Theory)
Teori kelompok digunakan untuk menjelaskan pengaruh suatu kelompok terhadap proses perubahan kebijakan. Hal ini bisa diterapkan misalkan pada kelompok teknokrat, siloviki ataupun liberalis di negara Rusia yang pada akhirnya akan mempengaruhi kebijakan baik dalam maupun luar negeri. Ataupun pada kasus keompok masyarakat cocaleros yang mendukung calon presiden Bolivia.
a) Kebijakan publik merupakan produk dari perjuangan kelompok.
b) Interaksi dan perjuangan antara kelompok-kelompok adalah kenyataan sentral dari kehidupan politik.
c) Kelompok adalah sekumpulan orang yang mungkin, atas dasar sikap atau kepentingan yang sama, membuat klaim terhadap kelompok lain dalam masyarakat. Kelompok menjadi kelompok kepentingan manakala ia membuat klaim melalui atau terhadap setiap institusi pemerintah.
d) Konsep utama dalam teori kelompok adalah akses.
Teori Elit (Elite Theory)
Secara spesifik, teori ini menjadi bagian dari teori kelompok yang ada diatas. Namun teori ini hanya mengkhususkan membahas suatu kelompok masyarakat yang telah lama memegang kekuasaan di suatu negara. Misalkan kelompok masyarakat kelas atas yang memegang kekuasaan di negara Venezuela hingga akhirnya digantikan oleh kebijakan Presiden Hugo Chavez.
a) Kebijakan publik dipandang sebagai pencerminan nilai dan preferensi elite yang berkuasa.
b) Masyarakat terbagi atas sedikit orang yang mempunyai power dan massa yang tidak mempunyai power.
c) Elite berasal dari lapisan masyarakat dengan tingkat sosial-ekonomi tinggi. Perpindahan non-elite ke posisi elite harus lambat dan terus menerus untuk memelihara stabilitas dan menghindari revolusi.
d) Elite mempunyai konsensus terhadap nilai-nilai dasar dari sistem sosial dan pelestarian sistem.
e) Perubahan dalam kebijakan publik akan bersifat inkremental.
f) Elite mempengaruhi massa lebih banyak daripada massa mempengaruhi elite.
Institutionalism
Teori ini juga menjadi bagian dari teori kelompok, namun seperti halnya teori elit maka teori institusionalism lebih mengkhususkan kepada institusi yang berpengaruh terhadap proses kebijakan. Perbedaan dengan teori elit adalah teori elit membahas klompok masyarakat sementar isntitusionalis membahas organisasi pemerintah.
a) Kebijakan publik ditentukan secara otoritatif dan pada awalnya dilaksanakan oleh institusi pemerintah.
b) Terpusat pada pemaparan aspek-aspek formal dan legal dari institusi pemerintah: organisasi formal, kekuasaan hukum, aturan prosedural, dan fungsi atau aktivitas.
Teori Pilihan Rasional (Rational Choice Theory)
• Kebijakan publik sebagai keputusan dari aktor politik yang bertindak rasional untuk memaksimalkan kepuasan mereka (rational utility maximizer).
• Aktor politik dipandu oleh kepentingan pribadi dalam memilih rangkaian tindakan untuk kemanfaatan terbaik bagi dirinya, misalkan :
(1) Pemilih memberikan suara untuk partai dan kandidat yang terbaik memenuhi kepentingannya,
• Self interest birokrasi mengarahkan mereka untuk memaksimalkan budget
instansinya karena budget yang lebih besar merupakan sumber power, prestige, perks, dan high salary.
Keseluruhn penjabaran diatas sebenarnya tidak menutup kemungkinan untuk menggabungkan dengan teori yang sudah dibahas diatas atau dengan teori lain yang ada. Hal ini berfungsi untuk memberikan pembatasan yang jelas mengenai variabel yang akan anda gunakan dalam pembahasan.

Judul Skripsi KomunikasiI; ANALISA ISI SEBAGAI SALAH SATU ALTERNATIF ANALISIS MEDIA


Analisis isi merupakan analisa yang dioperasikan oleh seperangkat kategori-kategori konseptual yang berkaitan dengan isi media dan secara kuantitatif menghitung ada atau tidaknya kategori tersebut dengan tingkat kesulitan yang berbeda-beda.[1] Pendekatan dasar untuk menerapkan teknik ini adalah (1) memilih contoh (sample) atau keseluruhan isi. (2) menetapkan kerangka teori acuan eksternal yang relevan dengan tujuan pengkajian, (3) memilih satuan analisi isi (kata, kalimat, alinea, kisah, gambar, urutan dan sebagainya (4) menyesuaikan isi dengan kerangka teori per satuan unit yang dipilih (5) mengungkapkan hasil sebagai distribusi menyeluruh dari semua satuan atau per contoh dalam hubungannya dengan frekuensi keterjadian hal-hal yang dicari untuk acuan.[2] Secara singkat maka prosedurnya di dasarkan atas dua asumsi utama yaitu hubungan antara objek acuan eksternal dan acuannya dalam teks akan cukup jelas dan tidak mendua dan bahwa frekuensi perwujudan acuan yang terpilih secara sahih akan mengungkapkan ”arti” utama teks secara objektif.
Analisa isi pada perkembangannya tidak cukup digunakan untuk menekankan isi pesan sebagai area terpenting dalam analisis ilmu-ilmu sosial. Oleh karenanya analisa isi secara kuantitatif seperti ini dianggap sebagai cara tradisional dan berkembang menjadi ilmu analisa wacana, analisis semiotik dan analisis framing. Kelebihan dari analisa isi adalah mampu menyajikan secara lebih sistematis, kuantitatif dan deskriptis sementara kekurangannya tidak mampu menganalisa lekak-lekuk teks secara lebih detail. Dengan kata lain, analisis isi memiliki keterbatasan untuk menganalisis isi pesan apalagi sampai ke tingkat ideologis, padahal pesan dalam sebuah media terlebih media massa merupakan bangunan yang dibentuk dari struktur bahasa yang terdiri dari lambang-lambang (sign) dan berfungsi menyampaikan pesan dari si pengirim pesan melalui penerima pesan. Kurang lebih bisa dikatakan bahwa pesan dapat dianalisa melalui alat penghantarnya yaitu struktur tanda itu sendiri.
Jadi tips dalam penelitian analisa isi sebenarnya adalah: Pertama, menentukan tema yang ingin diangkat. Misalkan analisa isi peristiwa (.....) dalam media (......) dari tanggal (......) degan kerangka (.....). Kedua, tentukan kategorisasi. Umumnya kategorisasi menggabungkan antara teori dan data yang tersedia. Jadi setelah tema ditentukan sesegera mungkin anda juga menyediakan data. Jangan setelah proposal selesai baru anda mencari data. Hal ini akan jauh lebih mempermudah anda karena dalam pelaksanaan penelitian maka tidak akan mungkin kategorisasi dalam tipe yang tidak ada.

[1] Listiorini, Dina, 1999. Mengembangkan Ilmu Komunikasi Melalui Semiotika dalam Abrar, Ana Nadya. Membangun Ilmu Komunikasi dan Sosiologi, Yogyakarta, Universitas Atmajaya Yogyakarta; hlm 257-264
[2] McQuail, Denis, 1991. Teori Komunikasi Massa, Suatu Pengantar. Edisi Ke Dua. Alih Bahasa Agus Dharmawan dan Amiruddin, Jakarta; Penerbit Erlangga
[3] Wimmer, Roger D & Joseph.R.Dominick, 1997, Mass Media Research: An Introduction., MA: Wadsworth, Belmont USA
[4] “Analisis Isi Berita Media Cetak Kampanye Presiden Mengenai Lingkungan”, Penelitian Institut Studi Arus Informasi (ISAI)/Koalisi Media untuk Pemilu Bebas dan Adil, Jakarta, 2004